السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pendahuluan
Jika Anda dapat berhenti sejenak kemudian memikirkan tentang
kehidupan Anda, Anda akan menyadari bahwa semua ingatan Anda walaupun mungkin
terdiri atas beberapa dekade, akan berarti sebagai perbincangan beberapa menit
saja. Apa yang pernah Anda pikir penting, atau yang benar-benar Anda kejar,
atau yang coba Anda hindari, kini semuanya adalah bagian dari masa lalu. Apa
pun yang mengingatkan kita pada pikiran-pikiran dan perasaan ini, itu hanyalah
kenangan.
Bagaimanapun juga, dalam pandangan Allah, setiap kata yang Anda
ucapkan dan setiap pikiran yang terlintas dalam benak Anda telah diketahui-Nya.
Setelah mati, di mana masing-masing manusia telah ditetapkan waktunya, rekaman
setiap tindakan kita akan dibeberkan di hadapan kita. Yang akan terlihat dari
kehidupan kita hanyalah terdiri atas detik demi detik, tanpa terlewat satu
bagian kecil pun. Dalam pandangan Allah, tak ada rincian hidup kita yang
terlupakan.
Jika dalam setiap aspek kehidupan, Anda menghabiskan hidup
dengan berserah diri kepada kekuasaan mutlak Allah, menerima tujuan
penciptaan-Nya, kemudian menyadari kebaikan dalam segala hal, serta sadar akan
kesempurnaan dalam setiap rencana Ilahiah yang ditetapkan oleh Allah, Anda
dapat memastikan bahwa hasil akhir Anda akan baik.
Hal itu karena di saat kematiannya, manusia dihadapkan pada dua
pilihan. Jika yang satu telah dijalankan dengan nilai-nilai yang dinyatakan
oleh Allah, ia akan mendapatkan keselamatan abadi. Jika tidak, ia kan menderita
kesengsaraan tak berujung. Akhlaq yang Allah meminta kita untuk melaksanakannya
adalah berupa rasa syukur terhadap-Nya dalam setiap hal, tak peduli
bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Allah menginginkan agar kita meyakini
bahwa pasti ada kebaikan dalam segala hal yang menimpa kita dengan menyadari
bahwa semua itu berasal dari Allah.
Menerima apa pun yang menimpa kita dan meyakini bahwa ada
kebaikan dalam setiap kejadian walaupun tampaknya merugikan, bahkan malah
bersyukur untuk semua itu, bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Ia
adalah kebenaran yang disadari melalui pemahaman akan kebesaran dan keagungan
Allah. Seseorang hanya perlu mengenal Tuhan-Nya—Pencipta alam semesta—dan
peristiwa apa pun yang terjadi di dalamnya serta bersyukur atas semua itu.
Sejak
pertama kali seseorang membuka matanya di dunia, Allahlah yang menetapkan
setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Allahlah Yang Mahakuasa,
Mahabijaksana, dan Mahaadil. Semua diciptakan Allah dalam rangka memenuhi
rencana-Nya dan untuk tujuan Ilahiah, sebagaimana difirmankan Allah dalam
sebuah ayat Al-Qur`an, “Sesungguhnya, Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran.(al-Qamar: 49)
Dalam
cahaya kekuasaan dan kehebatan Allah yang tiada batasnya, manusia hanyalah
makhluk yang lemah. Tanpa kemurahan dan kasih Allah, ia tidak akan bisa
bertahan. Melalui kemampuannya untuk memahami dan mempertimbangkan, manusia
dapat memahami sesuatu hanya seluas apa yang diizinkan Penciptanya. Adalah
sebuah keharusan bagi kita untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan
maksud-maksud Ilahiah yang telah ditetapkan-Nya. Apa pun yang kita alami dalam
hidup ini, kita harus tetap ingat bahwa Allah adalah Tuhan yang menguasai
seluruh alam semesta dan Dia mengetahui, melihat, dan mendengar apa yang tidak
dapat kita ketahui, lihat, dan dengar; dan bahwa Allah mengetahui sesuatu yang
akan terjadi dan tidak kita sadari. Demikianlah, kita menyadari bahwa Allahlah
yang menyebabkan terjadinya setiap peristiwa sesuai dengan tujuan ilmiah, yaitu
untuk kebaikan kita.
Dengan
meyakini hal ini, kita akan memiliki pandangan yang lebih baik. Dengannya, kita
merasa bersyukur atas segala yang terjadi pada diri kita. Dengan kata lain,
seseorang akan berupaya untuk melihat kebaikan dalam segala sesuatu yang
didengarnya, dilihatnya, dan menimpanya. Dalam setiap fase kehidupannya, ia
akan memahami kehidupan ini secara benar dan tepat. Ia dapat membuat keputusan
yang benar antara apa-apa yang ditawarkan kepadanya. Dalam Al`Qur`an
digambarkan, “Sesungguhnya, Kami telah menunjukkan jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”(al-Insaan: 3)
Kehendak
manusia dan kehendak Allah mencapai hasil akhir yang mulia, yakni kehidupan
abadi di surga.
Tujuan buku ini adalah untuk menebarkan indahnya cahaya
kehidupan dengan menyadari bahwa ada kebaikan dalam setiap fase waktu dan
peristiwa yang dialami seseorang, serta untuk mengingatkan diri kita akan
keberkahan pandangan hidup ini, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan
memaparkan apa-apa saja yang menghalangi seseorang untuk melihat kebaikan, buku
ini dapat menolong dari “kematian” menuju cara berpikir yang diajarkan oleh
Islam. Buku ini ditulis untuk mendorong seseorang agar mengadaptasi
prinsip-prinsip moral yang dengannya, ia dapat berkata, “Ada kebaikan di
dalamnya.” Tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati. Ia
menunjukkan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dengan penuh ketundukan dan
rasa syukur, bukan hanya terus-menerus menderita dalam situasi demikian.
Mengingatkan satu sama lain tentang kesempurnaan takdir yang telah dituliskan
oleh Allah adalah ajakan bagi semua kaum mukminin agar menikmati indahnya
penyerahan diri pada kebijaksanaan Allah yang tak terhingga.
Melihat
Kebaikan dalam Segala Peristiwa
Sebenarnya, melihat
kebaikan dalam segala hal merupakan ungkapan yang biasa. Dalam kehidupan kita
sehari-hari, orang sering mengatakan,“Pasti ada kebaikan
(hikmah) di balik kejadian ini,” atau, “Ini merupakan berkah dari Allah.”
Biasanya, banyak orang mengucapkan ungkapan-ungkapan
tersebut tanpa memahami arti sebenarnya atau semata-mata hanya mengikuti
kebiasaan masyarakat yang tidak ada maknanya. Kebanyakan mereka gagal memahami
arti yang sebenarnya dari ungkapan-ungkapan tersebut atau bagaimana pemahaman itu
dipraktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, kebanyakan
manusia tidak sadar bahwa ungkapan-ungkapan tersebut tidak sekadar untuk
diucapkan, tetapi mengandung pengertian yang penting dalam kejadian
sehari-hari.
Kenyataannya, kemampuan melihat kebaikan dalam
setiap kejadian, apa pun kondisinya—baik yang menyenangkan maupun
tidak—merupakan kualitas moral yang penting, yang timbul dari keyakinan yang
tulus akan Allah, dan pendekatan tentang kehidupan yang disebabkan oleh
keimanan. Pada akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi sangat penting
dalam menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan hidup di dunia
dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang
tak akan berakhir.
Tanda pemahaman yang benar akan arti iman adalah
tidak adanya kekecewaan akan apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini.
Sebaliknya, jika seseorang gagal melihat kebaikan dalam setiap peristiwa yang
terjadi dan terperangkap dalam ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan,
kesedihan, dan sentimentalisme, ini menunjukkan kurangnya kemurnian iman.
Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan kesenangan yang berasal dari
keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian hidup yang penting. Orang
yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada awalnya terlihat tidak
menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh tindakannya yang salah,
pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia menyebutnya sebagai
“kemalangan”, “kesialan”, atau “seandainya”, ini hanyalah untuk menarik
pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang beriman
mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia belajar dari
kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga, jika ia
jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat bahwa semuanya memiliki maksud
tertentu dan mudah saja memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam kesempatan
mendatang. Bahkan jika hal yang sama terjadi puluhan kali lagi, seorang muslim
harus ingat bahwa pada akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk kebaikan dan
menjadi hak Allah yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara panjang
lebar oleh Nabi saw.,
“Aku mengagumi seorang
mukmin karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan
kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika
ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di
dalamnya ada kebaikan pula.” (HR Muslim)
Hanya dalam kesadaran bahwa Allah menciptakan
segalanya untuk tujuan yang baik sajalah hati seseorang akan menemukan
kedamaian. Adalah sebuah keberkahan yang besar bagi orang-orang beriman bila ia
memiliki pemahaman akan kenyataan ini. Seseorang yang jauh dari Islam akan
menderita dalam kesengsaraan yang berkelanjutan. Ia terus-menerus hidup dalam
ketakutan dan kekhawatiran. Di sisi lain, orang beriman menyadari dan
menghargai kenyataan bahwa ada tujuan-tujuan Ilahiah di balik ciptaan dan
kehendak Allah.
Karena itu, adalah memalukan bagi orang beriman bila
ia ragu-ragu dan ketakutan terus-menerus karena selalu mengharapkan kebaikan
dan kejahatan. Ketidaktahuan terhadap kebenaran yang jelas dan sederhana,
kekurangtelitian, dan kemalasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan di dunia
dan di akhirat. Kita harus ingat bahwa takdir yang ditentukan Allah adalah
benar-benar sempurna. Jika seseorang menyadari adanya kebaikan dalam setiap
hal, dia hanya akan menemukan karunia dan maksud Ilahiah yang tersembunyi di dalam
semua kejadian rumit yang saling berhubungan. Walau ia mungkin memiliki banyak
hal yang mesti diperhatikannya setiap hari, seseorang yang memiliki iman yang
kuat—yang dituntun oleh kearifan dan hati nurani—tidak akan membiarkan dirinya
dihasut oleh tipu muslihat setan. Tak peduli bagaimanapun, kapan pun, atau di
mana pun peristiwa itu terjadi, ia tidak akan pernah lupa bahwa pasti ada
kebaikan di baliknya. Walaupun ia mungkin tidak segera menemukan kebaikan
tersebut, apa yang benar-benar penting baginya adalah agar ia menyadari adanya
tujuan akhir dari Allah.
Berkaitan dengan sifat terburu-buru manusia, mereka
kadang-kadang tidak cukup sabar untuk melihat kebaikan yang ada di dalam
peristiwa yang menimpa mereka. Sebaliknya, mereka menjadi lebih agresif dan
nekat dalam mengejar sesuatu walaupun hal tersebut sangat bertentangan dengan
kepentingan yang lebih baik. Di dalam Al-Qur`an, hal ini disebutkan,
“Dan
manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan
adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”(al-Israa`:11)
Meski demikian, seorang hamba harus berusaha melihat
kebaikan dan maksud Ilahiah dalam setiap kejadian yang disodorkan Allah di
depan mereka, bukannya memaksa untuk diperbudak oleh apa yang menurutnya
menyenangkan dan tidak sabar untuk mendapatkan hal itu.
Walau seseorang berusaha untuk mendapatkan status
finansial yang lebih baik, perubahan itu mungkin tidak pernah terwujud.
Tidaklah benar jika seseorang menganggap suatu kondisi itu merugikan. Tentu
saja seseorang boleh berdo’a kepada Allah untuk mendapatkan kekayaan jika
kekayaan itu digunakan di jalan Allah. Bagaimanapun juga, ia harus mengetahui
bahwa jika keinginannya itu tidak dikabulkan Allah, itu disebabkan alasan
tertentu.
Mungkin saja bertambahnya kekayaan sebelum matangnya
kualitas spiritual seseorang dapat mengubahnya menjadi orang yang gampang
diperdaya oleh setan. Banyak alasan Ilahiah lainnya—di antaranya tidak langsung
disadari atau hanya akan terlihat di akhirat—dapat mendasari terjadinya sebuah
peristiwa. Seorang usahawan, misalnya, bisa saja tertinggal sebuah pertemuan
yang akan menjadi pijakan penting dalam kariernya. Akan tetapi, jika saja pergi
ke pertemuan itu, ia bisa tertimpa kecelakaan lalu lintas, atau jika
pertemuannya diadakan di kota lain, pesawat yang ditumpanginya bisa saja jatuh.
Tak ada seorang pun yang kebal terhadap segala
peristiwa. Biasakanlah untuk melihat bahwa pada akhirnya ada suatu kebaikan
dalam sebuah peristiwa yang pada awalnya terlihat merugikan. Meski demikian,
seseorang perlu ingat bahwa ia tidak akan selalu dapat mengetahui maksud sebuah
peristiwa adalah sesuatu yang merugikan. Ini karena, sebagaimana telah kami
sebutkan sebelumnya, kita tidak selalu beruntung dapat melihat sisi positif
yang muncul. Mungkin juga Allah hanya akan menunjukkan maksud keilahian-Nya di
akhirat nanti. Karena alasan itulah, yang harus dilakukan oleh orang yang ingin
menyerahkannya pada takdir Allah dan memberikan kepercayaannya kepada Allah
adalah menerima setiap kejadian itu—apa pun namanya—dengan keinginan untuk
mencari tahu bahwa pastilah ada kebaikan di dalamnya dan kemudian menerimanya
dengan senang hati.
Harus disebutkan juga bahwa melihat kebaikan dalam
segala hal bukan berarti mengabaikan kenyataan dari peristiwa-peristiwa
tersebut dan berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, atau mungkin
menjadi sangat idealis. Sebaliknya, orang beriman bertanggung jawab untuk
mengambil tidakan yang tepat dan mencoba semua cara yang dianggap perlu untuk
memecahkan masalah. Kepasrahan orang yang beriman tidak boleh dicampuradukkan
dengan cara orang lain, yang karena pemahaman yang tidak sempurna tentang hal
ini, mereka tetap saja tidak acuh terhadap apa pun yang terjadi di sekitar
mereka dan optimis tetapi tidak realistis. Mereka tidak bisa membuat keputusan
yang rasional ataupun menjalankan keputusan tersebut. Ini dikarenakan yang ada
pada mereka adalah optimistis yang melenakan dan kekanak-kanakan, bukan mencari
pemecahan masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang didiagnosis menderita
penyakit yang serius, keadaannya saat itu mungkin paling parah sampai pada
titik fatal yang diabaikannya selama masa pengobatan.
Contoh lainnya, jika seseorang tidak menyadari
pentingnya mengamankan harta bendanya, walau ia pernah mengalami pencurian,
besar kemungkinan akan menjadi korban lagi dari kejadian serupa itu.
Pastilah cara-cara tersebut jauh dari sikap menaruh
kepercayaan kepada Allah dan dari “melihat kebaikan dalam segala hal”. Pada
hakikatnya, sikap tersebut berarti ceroboh. Kebalikannya, orang yang beriman
harus berusaha mengendalikan situasi sepenuhnya. Pada dasarnya, sikap yang
menuntun diri mereka ini adalah suatu bentuk “penghambaan”, karena ketika
mereka terlibat dalam situasi tersebut, pikiran mereka dikuasai oleh ingatan
akan kenyataan bahwa Allahlah yang membuat peristiwa itu terjadi.
Di dalam Al-Qur`an, Allah menghubungkan kisah para
nabi dan orang beriman sebagai contoh bagi mereka yang sadar akan hal ini.
Inilah yang harus diteladani oleh seorang mukmin. Sebagai contoh, sikap yang
merupakan respons Nabi Huud terhadap kaumnya menunjukkan penyerahan total dan
rasa percayanya yang kokoh kepada Allah, walaupun ia mendapatkan perlakuan yang
buruk.
“Kaum
‘Aad berkata, ‘Wahai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang
nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami
karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan memercayai kamu. Kami tidak
mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit
gila atas dirimu.’ Huud menjawab, ‘Sesungguhnya, aku menjadikan Allah sebagai
saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu
dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Sesungguhnya, aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu
binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya,
Tuhanku di atas jalan yang lurus.’ Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku
telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk
menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang
lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit pun.
Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.(Huud: 53-57)
Bagaimana
Orang Bodoh Melihat Sebuah Peristiwa
Secara umum, manusia cenderung memisahkan peristiwa
yang terjadi dalam istilah “baik” dan “buruk”. Pemisahan tersebut sering
bergantung pada kebiasaan atau tendensi peristiwa itu sendiri. Reaksi mereka terhadap
peristiwa tersebut berubah-ubah tergantung pada kepelikan dan bentuk kejadian
tersebut; bahkan apa yang akhirnya akan mereka rasakan dan alami biasanya
ditentukan oleh kebiasaan sosial masyarakat.
Hampir semua orang memiliki sisa-sisa mimpi masa kecil,
bahkan dalam hidup mereka selanjutnya, walaupun rencana-rencana ini tidak
selalu terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan atau direncanakan. Kita selalu
cenderung kepada kejadian-kejadian yang tidak diharapkan dalam hidup. Peristiwa
tersebut dapat sekejap saja melemparkan hidup kita ke dalam kekacauan. Ketika
seseorang berniat untuk menjalankan hidupnya dengan normal, ia mungkin
berhadapan dengan rangkaian perubahan yang pada awalnya terlihat negatif.
Seseorang yang sehat bisa dengan tiba-tiba terserang penyakit yang fatal atau
kehilangan kemampuan fisik karena kecelakaan. Sekali lagi, seseorang yang kaya
bisa saja kehilangan seluruh kekayaannya dengan tiba-tiba.
Hidup seperti menaiki roller-coaster. Reaksi orang berbeda-beda ketika menaikinya. Jika kejadian
yang muncul menyenangkan, reaksi mereka baik-baik saja. Akan tetapi, ketika
dihadapkan pada hal-hal yang tidak diharapkan, mereka cenderung kecewa, bahkan
marah. Kemarahan mereka itu bisa memuncak, bergantung pada sejauh mana mereka
berhubungan dengan peristiwa tersebut dan pencapaian mereka dalam masalah ini.
Kencenderungan ini biasa terjadi dalam masyarakat yang tenggelam dalam
kebodohan.
Ada juga di antara mereka yang saat kecewa berkata,
“Pasti ada kebaikan di dalamnya.” Bagaimanapun juga, kalimat yang diucapkan
tanpa memahami arti sebenarnya hanya semata-mata kebiasaan masyarakat saja.
Masih ada sebagian orang yang memiliki keinginan
untuk memikirkan maksud Ilahiah dalam setiap peristiwa, apakah yang mungkin
terdapat dalam kejadian-kejadian yang sepele. Akan tetapi, ketika mereka
dihadapkan pada peristiwa yang lebih besar, yang sangat mengganggu, tiba-tiba
mereka melupakan niat tersebut. Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak akan
tertekan saat mesin mobilnya rusak tepat ketika ia harus berangkat ke kantor
dan ia berusaha berprasangka baik terhadap kejadian tersebut. Akan tetapi, jika
keterlambatannya itu membuat bosnya marah atau menjadi alasan hilangnya
pekerjaan, ia lalu mencari-cari alasan untuk mengeluh. Dia mungkin akan
bersikap sama jika kehilangan perhiasan atau jam mahal. Contoh-contoh ini
menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa kejadian kecil yang menyebabkan
orang bereaksi dengan wajar atau mereka mau berbaik sangka bahwa hal tersebut
mengandung kebaikan. Akan tetapi, contoh-contoh lainnya yang tidak biasa dapat
membuatnya mencari pembenaran atas keangkuhan dan kemarahan mereka.
Di sisi lain, sebagian orang hanya menghibur diri
dengan berpikir demikian tanpa memiliki pegangan makna yang benar terhadap
“melihat kebaikan dalam segala hal”. Dengan sikap demikian, mereka percaya
bahwa hal tersebut dapat menjadi cara untuk menciptakan kenyamanan bagi mereka
yang tengah tertimpa masalah. Misalnya yang terjadi pada anggota keluarga yang
bisnisnya tengah berantakan atau seorang teman yang gagal dalam ujian.
Bagaimanapun juga, jika kepentingan merekalah yang dipertaruhkan dan mereka
terlihat tak sedikit pun memikirkan kebaikan apa yang ada di balik peristiwa
tersebut, mereka telah berlaku bodoh.
Kegagalan untuk melihat kebaikan dalam peristiwa yang
dialami seseorang muncul dari hilangnya keimanan seseorang. Kegagalannya untuk
memahami bahwa Allahlah yang menakdirkan setiap kejadian dalam kehidupan
seseorang, bahwa hidup di dunia ini tidak lain hanyalah ujian, inilah yang
menghalangi dirinya untuk menyadari kebaikan apa pun dalam setiap peristiwa
yang terjadi padanya.
Dalam bab berikut, kita akan menggali ide itu, yaitu
memiliki keyakinan bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi pada kita dan
faktor-faktor tersebut penting sekali untuk kita lihat.
Bagaimana
Melihat Kebaikan dalam Segala Hal yang Terjadi
Menyadari bahwa Allahlah yang Telah
Menakdirkan Semua Hal dalam Setiap Detailnya
Kebanyakan orang merasa senang saat segala sesuatu
terjadi sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, orang beriman tidak boleh
cenderung kepada perasaan seperti itu. Di dalam Al-Qur`an, Allah memberikan
kabar gembira bahwa Dia telah menentukan setiap peristiwa demi kebaikan
hamba-Nya dan hal tersebut tidaklah menimbulkan rasa sedih ataupun masalah bagi
mereka yang benar-benar beriman.
Seseorang yang menyadari kebenaran ini di dalam
hatinya akan merasa senang terhadap apa yang dihadapinya dan ia melihat karunia
yang tersimpan di balik apa yang terjadi.
Banyak orang bahkan tidak ingin repot-repot berpikir
bagaimana dan mengapa mereka ada di dunia ini. Walaupun kata hati akan menuntun
mereka untuk menyadari bahwa keajaiban dunia dan penataannya yang sempurna ini
memiliki pencipta, cinta yang luar biasa banyaknya yang dirasakan di dunia ini,
keengganan mereka untuk melihat kebenaran, membawa mereka pada pengingkaran
terhadap realitas keberadaan Allah. Mereka mengabaikan fakta bahwa setiap
kejadian dalam hidupnya ditentukan sesuai dengan rencana dan tujuan tertentu;
mereka malah menghubungkannya dengan ide yang sungguh-sungguh salah, yakni
hanya sebatas kebetulan atau keberuntungan. Bagaimanapun juga, ini hanyalah
sebuah pandangan yang menghalangi seseorang untuk melihat kebaikan dalam
peristiwa-peristiwa yang terjadi dan kemudian menarik pelajaran dari peristiwa
tersebut.
Ada pula mereka yang sadar akan eksistensi Allah dan
mengerti bahwa Dialah yang telah menciptakan seluruh alam. Mereka mengakui
fakta bahwa Allahlah yang menurunkan hujan dan meninggikan matahari. Mereka
menyadari bahwa tidak mungkin ada zat lain yang melakukan semua itu. Saat
terjadi peristiwa dalam jenak kehidupan mereka—detail kecil yang membentuk
bagian kesibukan sehari-hari—mereka tidak dapat berpikir bahwa mereka terlepas
dari Allah. Meskipun demikian, Allahlah yang menakdirkan seorang pencuri
memasuki rumah di malam hari, sebuah rintangan yang menyebabkan seseorang
terjatuh, sebuah lahan subur untuk ditanami atau dibiarkan gersang, jual beli yang
menguntungkan, bahkan panci yang gosong sekalipun. Setiap peristiwa terjadi
dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas untuk menyelesaikan rencana-Nya yang
agung. Sepercik lumpur yang mengotori celana kita, bocornya ban mobil, jerawat
yang muncul, penyakit, atau kejadian yang tidak diharapkan lainnya. Semuanya
terbentuk dalam kehidupan seseorang sesuai dengan rencana tertentu.
Sejak seseorang membuka matanya, tak ada satu pun
yang dialaminya di dunia ini terjadi dengan sendirinya dan terlepas dari Allah.
Segala yang ada secara keseluruhan diciptakan oleh Allah, satu-satunya zat yang
memegang kendali alam semesta. Ciptaan Allah bersifat sempurna, tanpa cacat,
dan sarat dengan tujuan. Ini adalah takdir yang diciptakan oleh Allah.
Seseorang tidak boleh mengotak-ngotakkan peristiwa yang terjadi dengan menamai
kebaikan pada sebuah peristiwa dan kejahatan pada peristiwa yang lain. Apa yang
menjadi kewajiban seseorang adalah menyadari dan menghargai kesempurnaan dalam
setiap peristiwa. Kita harus percaya bahwa ada kebaikan dalam setiap
ketetapan-Nya serta tetap menyadari kenyataan bahwa kebijaksanaan Allah yang
tak terbatas ini telah direncanakan untuk sebuah hasil akhir yang paling
sempurna. Bahkan mereka yang percaya dan mencari kebaikan dalam segala peristiwa
yang menimpa mereka, baik di dunia ini maupun akhirat nanti, mereka akan
menjadi bagian dari kebaikan yang abadi.
Hampir di setiap halaman Al-Qur`an, Allah meminta
kita untuk memerhatikan hal tersebut. Inilah sebabnya mengapa ketidakmampuan
dalam mengingat bahwa segalanya berjalan sesuai dengan takdir itu menjadi
sebuah kegagalan yang mengerikan bagi seorang mukmin. Takdir yang dituliskan
oleh Allah begitu unik dan dilewati oleh seseorang benar-benar sesuai dengan
apa yang telah Allah tetapkan. Orang awam menganggap kepercayaan akan takdir
semata-mata hanya merupakan cara untuk “menghibur diri” di saat tertimpa
kemalangan. Sebaliknya, seorang mukmin memiliki pemahaman yang benar akan
takdir. Ia sepenuhnya menganggap bahwa takdir adalah sebuah rencana Allah yang
sempurna yang telah dirancang khusus untuk dirinya.
Takdir adalah rencana
tanpa cacat yang dibuat untuk mempersiapkan seseorang untuk sebuah kenikmatan
surga. Takdir penuh dengan keberkahan dan maksud Ilahiah. Setiap kesulitan yang
dihadapi seorang mukmin di dunia ini akan menjadi sumber kebahagiaan,
kesenangan, dan kedamaian yang tak terbatas di kemudian hari. “Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada
kemudahan.”(al-Insyirah: 5)Ayat
ini menarik kita pada kenyataan bahwa di dalam takdir seseorang, kesabaran dan
semangat yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, telah dituliskan sebelumnya
bersama-sama dengan balasannya masing-masing di akhirat.
Sekali waktu mungkin terjadi dalam jenak kehidupan,
seorang mukmin menjadi marah atau khawatir akan terjadinya hal-hal tertentu.
Penyebab utama dari kemarahan yang ia rasakan adalah karena ia lupa bahwa semua
itu merupakan bagian dari takdirnya dan bahwa takdirnya itu telah diciptakan
oleh Allah hanya untuk dirinya sendiri. Walaupun demikian, ia akan merasa
nyaman dan tenang ketika ia diingatkan akan tujuan ciptaan Allah.
Karena itulah, seorang mukmin harus belajar untuk
terus mengingat bahwa segalanya telah ditetapkan sebelumnya. Ia harus
mengingatkan orang lain akan hal ini. Ia harus bersabar saat menghadapi
peristiwa-peristiwa yang Allah telah takdirkan untuknya dengan memberikan rasa
percayanya kepada Allah dalam jarak waktu yang tak terbatas. Tak lupa, ia harus
berusaha menemukan alasan-alasan di balik semua peristiwa tersebut. Jika ia
berusaha memahami alasan-alasan ini, dengan seizin Allah, ia akhirnya akan
berhasil. Bahkan walaupun ia tidak selalu berhasil menemukan maksud di
baliknya, ia masih tetap yakin bahwa ketika sesuatu terjadi, pastilah semua itu
demi kebaikan dan maksud tertentu.
Memahami sepenuhnya bahwa setiap makhluk, hidup
ataupun tidak, diciptakan dalam kepatuhannya pada takdir.
Takdir adalah pengetahuan sempurna Allah atas semua
peristiwa di masa lalu dan masa depan, laksana satu waktu saja. Ini menunjukkan
kekuasaan mutlak Allah atas semua makhluk dan semua peristiwa. Manusia bisa
saja berhati-hati agar tidak mengalami suatu peristiwa yang buruk, tetapi Allah
mengetahui semua peristiwa sebelum hal itu terjadi. Bagi Allah, masa lalu dan
masa depan adalah satu. Semua itu sama-sama berada dalam pengetahuan Allah
karena Dialah yang menciptakannya.
“Sesungguhnya,
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Ayat tersebut menyatakan bahwa segala yang ada di
dunia adalah bagian dari takdir. Kebanyakan orang tidak sempat memikirkan
takdir. Karena itu, mereka gagal menyadari bahwa hanya kekuatan Allah yang tak
terbataslah yang akan eksis di balik keteraturan yang sempurna ini. Sebagian
orang menganggap bahwa takdir hanya berlaku pada manusia. Kenyataannya, semua
yang ada di alam semesta, mulai dari furnitur di rumah Anda sampai sebuah batu
di jalan, rumput kering, buah, atau selai di rak supermarket, semua itu adalah
bagian dari takdir yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah. Takdir semua
benda dan makhluk yang diciptakan telah ditentukan dalam kebijaksanaan Allah
yang tak terhingga.
Setiap peristiwa yang dilihat seseorang, setiap
suara yang didengarnya, merupakan bagian hidup yang telah diciptakan untuknya
sebagai sebuah kesatuan. Tak ada bunga yang mekar dan layu dengan kebetulan.
Tak ada manusia yang lahir dan mati secara kebetulan. Tak ada manusia yang
sakit tanpa sengaja dan tidaklah penyakitnya itu bertambah tanpa ada yang
mengendalikan. Dalam setiap kejadian, peristiwa ini khusus ditakdirkan oleh
Allah sejak saat pertama kita diciptakan. Apa pun yang ada di muka bumi, di
dalam lautan, atau jatuhnya sehelai daun, semua terjadi dalam rangka memenuhi
takdir. Sebagaimana dinyatakan,
“Dan
pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’aam: 59)
Rasulullah Muhammad saw. pun bersabda bahwa tindakan
setiap orang telah ditakdirkan oleh Allah,
“Allah Yang Mahaagung
dan Mahamulia telah menetapkan bagi setiap hamba di antara ciptaan-Nya empat
hal: kematiannya, tindakannya, tempat tinggal dan tempat ia berpindah, serta
makanannya.” (HR Tirmidzi)
Akan tetapi, biasanya manusia tidak sadar akan
kenyataan bahwa setiap detik waktu mereka telah ditakdirkan oleh Allah.
Sebagian mereka tidak pernah menyadari bagaimana mereka diciptakan atau
bagaimana mereka mendapatkan karunia yang mereka nikmati. Sebagian lainnya
menganggap bahwa semua itu hanyalah kebetulan yang tak berarti, walaupun mereka
mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Di dalam
Al-Qur`an, Allah menyatakan kepada kita bahwa hal-hal kecil pun telah
ditakdirkan oleh kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas dan semua itu berkaitan
dengan tujuan-tujuan Ilahiah.
“Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(al-Hadiid: 22)
Setiap manusia harus memahami kenyataan ini. Hal ini
karena takdir bagi segala sesuatu di alam semesta telah diketahui oleh Allah
Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Karena itu, setiap hal kecil telah
direncanakan oleh Allah dengan sempurna dan memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Segalanya dibuat dengan teratur sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw..
Orang yang memiliki kesadaran penuh akan kenyataan takdir akan mendapatkan
manfaat—dengan perasaan gembiranya—akan setiap jenak waktu dalam kehidupannya,
yaitu saat-saat yang baik dan saat-saat yang terlihat buruk. Alasan mengapa
hamba-Nya berhasil menyadari hal itu adalah karena Allah telah menciptakan
takdir mereka tanpa cacat. Mereka akan mengetahui bahwa menganggap sesuatu
sebagai sebuah kemalangan adalah suatu kebodohan. Ini karena sesuatu yang
dianggap kemalangan itu memiliki maksud-maksud tertentu dari Allah. Pemahaman
yang mendalam tentang takdir membuat mereka mampu melihat keberkahan yang
terkandung dalam segala hal.
Menganggap bahwa apa yang terjadi bukanlah karena
Allah melainkan karena seseorang atau sesuatu, berarti kita tidak mampu
memahami takdir. Segala sesuatu yang kita anggap seharusnya tidak terjadi
demikian, pada hakikatnya merupakan “pelajaran takdir”. Manusia harus sepenuh
hati menanamkan dalam dirinya bahwa ada kebaikan dan maksud-maksud Ilahiah
dalam setiap kejadian. Orang cenderung menganggap peristiwa yang tidak
menyenangkan sebagai sebuah “kemalangan”. Bagaimanapun juga, tetap ada kebaikan
dan maksud-maksud tertentu dalam apa yang acapkali dianggap sebagai sebuah
“kemalangan”. Kejadian tersebut dianggap sebagai “kemalangan” karena kita
menilainya demikian. Pada kenyataannya, hal itu adalah sebuah kemungkinan yang
lebih baik karena ia adalah sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
Allah.
Jika Allah telah menunjukkan kebaikan dan maksud
sebuah kejadian yang merugikan, atau sebuah kesulitan yang menekan dan membuat
kita gusar, kita akan mengerti betapa tidak berartinya kekecewaan kita. Dengan
mengenali berkah dalam segala hal, seorang mukmin akan merasakan kesenangan,
bukan tekanan. Karena itulah, kewajibannyalah untuk mencari dan
mengidentifikasi kebaikan dan manfaat takdir yang terjadi, yakni bahwa dalam
peristiwa yang terjadi tersimpan maksud Allah. Ia akan merasa senang dan
menghargai manfaat mengetahui takdir.
Mengetahui bahwa Ada Keburukan dalam
Peristiwa yang Tampaknya Baik dan Ada Kebaikan dalam Peristiwa yang Tampaknya
Buruk
Dalam bab sebelum ini, kita diyakinkan bahwa Allah
Yang Mahabijaksana menciptakan setiap peristiwa dalam rangka menyempurnakan
sebuah rencana. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa hanya Allahlah yang
mengetahui peristiwa-peristiwa yang baik dan yang buruk. Ini disebabkan
kebijaksanaan Allah tidaklah terbatas, sedangkan pengetahuan manusia terbatas.
Manusia hanya bisa melihat tampilan luar suatu peristiwa dan hanya mampu
bersandar pada penglihatan yang terbatas dalam menilainya. Informasi dan
pemahaman mereka yang tidak mencukupi—dalam beberapa kasus—dapat membuat mereka
tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mereka bisa saja
mencintai sesuatu, padahal itu merupakan sebuah keburukan. Untuk dapat melihat
kebaikan itu, seorang mukmin harus menyerahkan rasa percayanya kepada
kebijaksanaan Allah yang tak terbatas dan percaya bahwa ada kebaikan dalam
segala hal yang terjadi. Allah berfirman,
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Di sinilah, Allah mengatakan kepada kita bahwa suatu
peristiwa yang dianggap baik oleh seseorang dapat mengakibatkan kekecewaan,
baik di dunia ini maupun di akhirat. Begitu juga sesuatu yang ingin benar-benar
dihindarkan—karena diyakini merugikan—mungkin dapat menyebabkan kebahagiaan dan
kedamaian baginya. Nilai hakiki peristiwa apa pun adalah pengetahuan mutlak
Allah. Segala hal, apakah rupa yang buruk ataukah rupawan, ada sesuai kehendak
Allah. Kita hanya menjalani apa yang Allah inginkan untuk kita. Allah
mengingatkan kita tentang hal ini,
“Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Yunus: 107)
Maka dari itu, apa pun yang kita alami dalam
kehidupan ini, apakah itu terlihat baik ataupun buruk, semuanya adalah baik
karena hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kita.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, zat yang menetapkan akibat suatu
peristiwa bukanlah seorang manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu,
melainkan Allah, Zat yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, Yang menciptakan
manusia, juga ruang dan waktu. (Informasi selajutnya, silakan baca buku Ketiadaan Waktu
dan Realitas Takdir karya
Harun Yahya)
Bagi
Orang Mukmin, Ada Kebaikan dalam Segala Hal
Setiap orang mengalami saat-saat sulit dalam
kehidupannya. Kesulitan ini membuat frustasi, stres, atau menjengkelkan
kebanyakan orang yang hidupnya jauh dari moralitas yang ditentukan dalam
Al-Qur`an. Karena itu, mereka dengan mudah merasa gelisah, tegang, dan marah.
Karena mereka tidak memiliki keyakinan akan kesempurnaan yang melekat pada
takdir yang ditetapkan oleh Allah, mereka tidak mencari keberkahan atau
kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang mereka alami. Bahkan, karena mereka
tidak memiliki keyakinan, setiap detik yang mereka habiskan tampaknya menjadi
berseberangan dengan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, mereka
menjalani sisa hidupnya dengan beban masalah dan tekanan.
Seorang mukmin mengetahui bahwa kesulitan-kesulitan
diberikan Allah untuk menguji manusia. Mereka tahu bahwa kesulitan tersebut
dibuat untuk membedakan antara mereka yang benar-benar beriman dan mereka yang
memiliki penyakit di hatinya, yaitu mereka yang tidak tulus dalam meyakini
keimanan mereka. Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa Dia akan menguji
seorang mukmin untuk melihat siapakah yang benar-benar dalam keimanannya.
“Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang
berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”(Ali
Imran: 142)
“Allah sekali-kali tidak
akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini,
sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)....”(al-Baqarah:
179)
Lebih lanjut, Allah memberikan contoh kepada
umat-Nya dengan mengambil setting di masa kenabian Rasulullah,
“Dan apa yang menimpa
kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin
(takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman, dan
supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik....”(Ali
Imran: 166-167)
Ayat di atas sudah jelas. Di masa Nabi Muhammad
saw., kaum muslimin menghadapi kesulitan dan ujian penderitaan. Sebagaimana ditunjukkan
di dalam ayat di atas, apa yang dijalani oleh kaum muslimin adalah kehendak
Allah. Semua itu terjadi untuk melihat manakah orang-orang munafik yang mencoba
menjatuhkan orang-orang yang beriman. Demikianlah, pada akhirnya, semua itu
menjadi kebaikan bagi kaum mukminin.
Kaum muslim yang mengetahui pelajaran yang
dinyatakan dalam ayat ini menganggap sebuah kesempatan di mana keikhlasan,
kesetiaan, dan keimanan mereka kepada Tuhannya adalah ujian. Mereka tidak
pernah lupa bahwa kesulitan atau keberkahan datang untuk menguji mereka. Karena
kemuliaan dan kepatuhan mereka kepada-Nya, Allah mengubah apa yang tampaknya
buruk menjadi hal-hal yang menguntungkan bagi hamba-Nya yang sejati.
Dalam halaman-halaman berikut, kita akan
membicarakan kesulitan yang mungkin dihadapi seorang mukmin dan ujian-ujian
khas dunia ini. Tujuannya untuk mengingatkan orang-orang beriman akan
keberkahan yang tersembunyi dan balasan yang diberikan secara berangsur-angsur
kepada mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Menguji Manusia dengan Hilangnya Harta Benda
Kebanyakan manusia bertujuan menumpuk kekayaan
sebanyak mungkin dalam hidupnya. Untuk tujuan ini, mereka melakukan apa pun,
bahkan dengan cara yang haram dan tidak sah. Pandangan manusia manusia terhadap
harta kepemilikan dijelaskan di dalam Al-Qur`an sebagai cinta karena perhiasan
hidup di dunia.
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
“Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.”(al-Kahfi: 46)
Dalam ayat lain, Allah menunjuk sebagian orang
dengan mengatakan, “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan.”(al-Fajr: 20) Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa orang
yang bodoh sangat membutuhkan harta kekayaan karena ia adalah salah satu ukuran
status sosial yang paling utama yang nilainya tidak didasarkan oleh agama.
Dalam masyarakat yang kacau ini, orang memuja, menghormati, dan menjunjung
tinggi kekayaan. Dengan mencapai kekayaan tertentu, seseorang merasa bahwa ia
memegang kekuasaan yang besar. Karena itu, dalam hal ini, mencapai kekayaan
menjadi tujuan utamanya dalam hidup.
Hasrat menggebu akan harta kekayaan juga membawa
manusia kepada ketakutan sepanjang hidup akan hilangnya harta. Mereka yang
memiliki pandangan demikian biasanya menjadi putus asa saat kehilangan harta
kekayaan, lalu mereka menjadi pemberontak terhadap Tuhannya. Menjadi orang yang
benar-benar bodoh itu hanyalah sebuah ujian, mereka benar-benar kewalahan
karena kehilangan kekayaan.
Bagaimanapun juga, Allah
telah memerintahkan manusia, “Jangan berdukacita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-Hadiid: 23) Ia
memerintahkan manusia untuk hidup sederhana dan menyerap akhlaq-akhlaq yang
baik. Berputus asa atas hilangnya kekayaan dan bersukacita dalam kekayaan
adalah tanda tidak bersyukur kepada Allah.
Di bawah pengaruh pandangan tersebut, sebagian
masyarakat yang bodoh menganggap boleh-boleh saja merasa kecewa akan hilangnya
harta kekayaan. Sebagai contoh, kenyamanan ekonomi yang dinikmati dari kekayaan
yang didapat dari usaha keras kita bisa saja lenyap dengan tiba-tiba karena
bencana alam; atau, kebakaran dapat menghancurkan sebuah rumah dalam sekejap
mata saja, padahal rumah bagus itu didapatkan setelah menabung bertahun-tahun.
Pada dasarnya, seseorang yang tidak menyadari fitrah hidupnya akan merasa
kebingungan saat ia mengalami kehilangan yang berarti. Ia menjadi lelah karena
keputusasaan dan pemberontakannya terhadap Allah.
Hal-hal yang jauh dari akhlaq Al-Qur`an tidak akan
berhasil selamanya, bahkan untuk mengetahui bahwa hilangnya kekayaan bisa saja
memiliki tujuan yang baik atau berakibat positif. Hal ini karena pandangan dan
ketidakmampuannya untuk memercayai Allah menjadikan dirinya terbebani secara
emosional akibat tekanan ekonomi
Bagaimanapun juga, perubahan kondisi ekonomi ini
dapat segera memberikan manfaat. Sebagai contoh, mungkin ada baiknya kecelakaan
terjadi pada mobil seseorang karena bisa jadi Allah melindungi pengendaranya
dari kecelakaan yang lebih fatal lagi. Seorang yang hati-hati akan melihat
kecelakaan tersebut sebagai peringatan, kemudian ia memohon ampun serta
menerima takdir yang telah ditetapkan Allah untuknya.
Bisa Jadi Kamu Mencintai Sesuatu walaupun Itu Buruk Bagimu
Seperti yang telah dikatakan di bahasan awal, Allah
menyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 216 bahwa keadaan tertentu yang bagi
kita tampaknya buruk bisa saja menjadi baik. Begitu pula, seperti yang
ditunjukkan ayat tersebut, Allah pun menyatakan bahwa apa yang dicintai
seseorang adalah buruk baginya. Di dalam Al-Qur`an, Allah memberikan contoh
orang-orang kafir yang kaya, yang tidak ingin menggunakan kekayaannya, karena
menurut mereka lebih baik menghemat. Anggapan mereka bahwa menimbun kekayaan
dan tidak menggunakannya di jalan Allah bisa memberi manfaat adalah benar-benar
suatu kebodohan. Di dalam Al-Qur`an, Allah menyatakan bahwa kekayaan seperti
itu adalah buruk dan hanya akan membawa kesengsaraan di neraka.
“Sekali-kali janganlah
orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Ali Imran: 180)
Di dalam surat al-Qashash, Allah mengisahkan tentang
Qarun. Allah telah melimpahkan keberuntungan yang besar kepada Qarun, tetapi ia
menjadi sombong karena kekayaannya yang terus bertambah. Ia mulai tidak
berterima kasih kepada Tuhannya. Kisah Qarun yang akhirnya dibinasakan Allah
karena ia tetap tidak memerhatikan peringatan-peringatan Allah ini adalah
pelajaran yang baik untuk manusia. Kisah ini disebutkan di dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, Qarun
adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami
telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika
kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’ Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya, Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku
hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak
mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya
yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah
perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 76-78)
Dalam ayat di atas, Qarun menganggap bahwa harta
kekayaannya akan membawa kebaikan bagi dirinya. Karena itu, ia bersukaria dan
sombong. Pada akhirnya, ia mengalami kekecewaan berat.
Sebaliknya, orang-orang beriman menghargai harta
kekayaan mereka. Ini sangat berbeda dengan pemahaman Qarun yang cacat. Bagi
mukmin yang taat kepada ajaran Al-Qur`an, harta kekayaan tidaklah terlalu
berarti. Seorang mukmin selalu menjadikan dirinya mulia. Ia tidak akan pernah
membiarkan dirinya memuja harta atau menjadikannya sebagai tujuan dan ambisinya
karena hal itu adalah perbuatan yang bodoh. Seorang mukmin mengabdikan dirinya
hanya demi keridhaan Allah dan ia tidak pernah membiarkan dirinya diperbudak
oleh nafsu dirinya yang rendah. Cita-citanya adalah untuk menggapai balasan
abadi di akhirat, bukan di dunia ini. Allah membalas orang-orang yang beriman
dengan derajat yang tinggi dalam pandangan-Nya dan Ia menjanjikan surga
untuknya.
“Sesungguhnya, Allah
telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil,
dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan, dan itulah
kemenangan yang besar.” (at-Taubah:
111)
Menyadari kenyataan ini, para nabi, rasul, dan
mukmin sejati menganggap apa yang mereka miliki sebagai sebuah berkah dari
Tuhan mereka. Mereka menanamkan dalam hati mereka bahwa semua yang mereka
miliki adalah milik Allah. Karena itu, mereka menggunakan segala milik mereka,
termasuk kekayaan, karena Allah. Akhlaq mulia dan kasih di antara kaum mukminin
ini dijelaskan dalam ayat,
“... (Mereka yang
benar-benar beriman adalah mereka yang) memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta....”(al-Baqarah:
177)
Lebih jauh lagi, seorang mukmin tidak berbuat
demikian untuk berpura-pura saja. Niat ikhlas mereka dalam menggunakan kekayaan
disebutkan dalam ayat,
“... orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka....” (al-Baqarah:
265)
Karena itu, ketika mereka kehilangan sebagian harta
kekayaan, reaksinya sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang
yang bodoh. Pada dasarnya, mereka tahu bahwa apa yang terjadi adalah ujian dari
Allah. Mereka menunjukkan kesabaran dan mencari kebaikan dalam apa yang ada di
balik kehilangan itu. Pandangan mulia orang-orang yang beriman disebutkan dalam
ayat,
“Katakanlah, ‘Wahai
Tuhan Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu.” (Ali
Imran: 26)
Karena itulah, orang-orang beriman tahu benar bahwa
kekayaan yang dimuliakan oleh orang-orang kafir di dunia ini hanya akan membawa
kesengsaraan bagi mereka, bukannya kebaikan. Ini adalah janji Allah.
“Maka janganlah harta
benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya, Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
keadaan kafir.”(at-Taubah: 55)
Kebijakan Ilahi di Balik Penyakit
Orang yang tinggal di dalam masyarakat yang bodoh
terus-menerus membuat rencana masa depan dan berharap agar rencana-rencana itu
berjalan sesuai keinginannya. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, penyakit
yang tidak diharapkan datang atau kecelakaan fatal melemparkan hidupnya ke
dalam kehancuran karena kejadian-kejadian tersebut tidak termasuk dalam rencana
masa depannya. Saat menikmati kesehatan, banyak orang tidak pernah berpikir
bahwa kejadian tersebut–walau sering terjadi pada ribuan orang lain setiap
harinya-dapat terjadi pada mereka juga.
Itulah sebabnya, saat berhadapan dengan
kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, orang yang bodoh dengan segera menjadi
kurang bersyukur terhadap Pencipta mereka. Mereka menolak kenyataan takdir
seraya mengatakan, “Mengapa ini terjadi pada diriku?” Orang yang jauh dari
akhlaq Al-Qur`an cenderung enggan menyerahkan kepercayaan kepada Allah saat
mereka sakit atau tertimpa kecelakaan, atau mencari kebaikan dalam peristiwa
yang menimpa mereka.
Beberapa orang yang tidak mengerti realitas takdir
menganggap bahwa penyebab pernyakit hanyalah virus atau mikroba. Demikian pula
saat kecelakaan lalu lintas, mereka menganggap supirnyalah yang menyebabkan
kecelakaan tersebut. Bagaimanapun, yang benar adalah sebaliknya. Setiap
penyebab penyakit, seperti mikroba, bakteri, ataupun yang membahayakan manusia,
semua itu sebenarnya adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk
tujuan-tujuan tertentu. Tak ada satu pun dari mereka yang dibuat secara
serampangan. Mereka semua bertindak di bawah kendali Allah. Manusia mudah
diserang mikroba karena Allah menginginkannya demikian. Jika seorang manusia
menderita sakit keras karena virus, hal itu terjadi dengan sepengetahuan Allah.
Jika sebuah mobil menabrak seseorang dan membuat orang tersebut cacat, kejadian
ini juga merupakan peristiwa yang terjadi atas izin Allah. Tak peduli dengan
cara apa pun dia menghindar, dia tidak akan pernah mengubah kejadian tersebut,
bahkan bagian terkecilnya sekalipun. Ia tidak dapat memindahkan bagian kecil
takdir mereka karena takdir diciptakan dalam kesatuan. Bagi seseorang yang
menyerahkan dirinya kepada Allah Yang Mahakuasa dan mereka yang percaya kepada
kebijaksanaan dan kasih-Nya yang tak terbatas, kecelakaan, penyakit, atau
kesengsaraan, semuanya adalah cobaan sementara yang menuntun kepada kebahagiaan
tertinggi.
Dalam situasi yang demikian, yang penting adalah
kualitas moral yang baik yang melekat dalam diri seseorang. Penyakit dan
kecelakaan adalah peristiwa yang bisa dijadikan kesempatan bagi orang-orang
beriman untuk menunjukkan kesabaran dan akhlaq yang baik. Mereka mendekatkan
diri kepada Allah. Di dalam Al-Qur`an, Allah berfirman tentang penyakit yang
dihubungkan dengan pentingnya kesabaran melalui saat-saat demikian.
“... sesungguhnya
kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 177)
Seperti yang telah disebutkan di awal, kenyataan
bahwa di dalam ayat ini, penyakit juga termasuk dalam kesengsaraan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Seseorang yang dihadapkan pada dilema fisik
atau tertimpa kecelakaan, ia harus ingat bahwa semua itu adalah cobaan untuknya
walaupun ia tidak dapat segera menemukan alasan mengapa dirinya tertimpa
musibah itu. Ia harus ingat bahwa hanya Allahlah yang memberikan penyakit dan
obatnya. Ini sangat penting untuk memelihara sikap moral yang tepat. Mungkin ia
harus melalui kesulitan sementara sebagai seorang hamba yang memiliki
kepasrahan penuh kepada Tuhannya. Di akhirat nanti, ia akan dibalas dengan
kebahagiaan yang abadi.
Kita semua perlu mengingat bahwa bagaimanapun juga,
penting bagi kita untuk mengingat hal ini, juga untuk memelihara moralitas
tertinggi saat berhadapan dengan kejadian serupa. Hingga detik ini, kita perlu
mengetahui bahwa semua penyakit diciptakan dengan maksud-maksud tertentu. Jika
Allah menghendaki, seseorang bisa saja tidak akan pernah sakit atau menderita.
Akan tetapi, jika seseorang diberi ujian, ia harus sadar bahwa semua itu
memiliki maksud. Semua itu membantunya untuk memahami kesementaraan dunia ini
dan kekuasaan Allah yang luar biasa.
Penyakit Mengingatkan Manusia bahwa Ia Lemah dan Membutuhkan Allah
Ketika sakit, tubuh yang sebelumnya sehat dan kuat
dikalahkan oleh virus dan bakteri. Sebagaimana diketahui, banyak penyakit yang
menyebabkan penderitaan dan melemahkan tubuh. Dalam beberapa kasus, seseorang
merasa telalu lemah untuk bangkit dari tempat tidur atau melakukan tugas
sehari-hari. Karena ia tidak dapat membasmi virus yang tidak kelihatan itu,
maka ia akan lebih mengerti akan kelemahan dirinya dan bagaimana ia begitu
membutuhkan Allah. Saat kesehatannya menurun, seseorang yang sebelumnya berani
menunjukkan kesombongannya kepada Sang Pencipta, atau memamerkan kesehatan dan
harta kekayaannya, menjadi sadar akan kenyataan ini. Ia dapat lebih menghargai
kekuatan Allah yang tak terhingga, Pencipta segalanya.
- Penyakit Menjadikan Seseorang Lebih
Memahami bahwa Kesehatan adalah Berkah dan Kemurahan dari Allah
Hal lain yang biasanya kita lupakan dalam kesibukan
sehari-hari adalah betapa besarnya karunia kesehatan. Seseorang yang diberi
kesehatan terus-menerus dan tidap pernah menderita, mudah saja mengatur
keadaan. Akan tetapi, ketika ia dihadapkan pada serangan penyakit yang
tiba-tiba, ia menyadari bahwa kesehatan merupakan berkah dari Allah. Hal itu
disebabkan ia kehilangan sesuatu yang membuatnya lebih menghargai nilai sesuatu
yang hilang itu. Seperi yang dikatakan Said Nursi-yang dikenal dengan nama
Badiuzzaman (Keajaiban Zaman), “Orang mengatakan
bahwa sesuatu dikenali dari hal-hal yang berseberangan dengannya. Sebagai
contoh, jika tidak ada kegelapan, cahaya tidak akan dikenal dan tidak
menyenangkan sama sekali. Jika tidak ada rasa haus, tidak akan ada istimewanya
meminum air. Jika tidak ada penyakit, tidak ada kesenangan yang didapat dari
kesehatan.”(Cahaya ke-25, Obat ke-7)
- Penyakit yang Sering Menjadikan Seseorang
Benar-Benar Menyadari Kesementaraan Dunia Ini, Kematian, dan Akhirat
Kebanyakan manusia mengira bahwa menderita penyakit
yang fatal atau kehilangan organ tubuh adalah sebuah kesengsaraan. Seharusnya,
penyakit dapat dimaknai bukan sebagai kesengsaraan, tetapi untuk kesalamatan di
akhirat dan untuk mengarahkan dirinya hanya kepada Allah. Hal ini karena orang
yang terkena penyakit serius biasanya semakin waspada. Penderitaan itu menolong
dirinya untuk menyadari kurangnya perhatian yang menumpulkan kesadaran dirinya
dan mendorongnya untuk merenungi realitas akhirat. Orang yang demikian
benar-benar memahami betapa tidak berartinya kecintaan akan dunia ini serta
dekatnya kematian. Alih-alih hidup dalam ketidakbertanggungjawaban, penyakit
yang tiba-tiba membuatnya semakin memahami betapa pentingnya mendapatkan
keridhaan Allah dan kehidupan akhirat demi mencapat keselamatan.
- Penyakit Diberikan untuk Do’a Seseorang dan
Menariknya untuk Dekat kepada Allah
Saat gejala penyakit semakin parah, seseorang mulai
memikirkan kematian. Pikiran ini menghantuinya sampai ia berusaha
menghindarinya dengan sengaja. Dengan segala ketulusan, ia meminta kepada Allah
untuk disembuhkan. Bahkan, saat menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan,
seseorang yang belum pernah berdo’a sebelumnya tiba-tiba merasa perlu memohon
kepada Allah untuk disembuhkan. Ia berdo’a dengan tulus ikhlas. Inilah
sebabnya, seseorang bisa dekat dengan Tuhannya ketika dirinya tidak berdaya.
Jika ia menunjukkan rasa syukurnya setelah sembuh dan terus berdo’a dengan
ikhlas, penyakitnya itu menjadi kebaikan buatnya dan menjadi awal keimanan
dirinya.
Allah menyebutkan orang-orang yang kembali
kepada-Nya dari kesengsaraan dalam ayat berikut.
“Dan apabila Kami
memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi
apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”(Fushshilat:
51)
“Dan apabila manusia
ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau
berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, di (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
“Dan apabila manusia
disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat
kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit
rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya.” (ar-Ruum: 33)
Sebagaimana ayat di atas, manusia seharusnya tidak
hanya berdo’a di saat sulit, tetapi ia harus tetap berdo’a setelah ujiannya
diangkat. Dengan demikian, penyakit keras atau cobaan itu dapat membuatnya
mengakui kelemahannya dan bertobat di hadapan Allah. Dengan demikian, ia menuju
penyerahan seluruh hidupnya kepada Allah.
- Sebagai Balasan atas Kesabaran yang
Ditunjukkan di Kala Sakit, Allah Membalasnya dengan Kehidupan Abadi di Dalam
Surga
Seperti yang kami sebutkan sejak awal, maksud lain
mengapa Allah memberikan penderitaan dengan penyakit adalah untuk menguji
kesabaran dan keimanan seseorang kepada Allah. Saat menderita suatu penyakit,
sikap seorang muslim jelas berbeda dengan orang-orang bodoh. Ia memiliki
kesabaran, keyakinan, dan kesetiaan kepada Allah. Ini dikarenakan mereka sadar
bahwa pandangan yang mereka yakini di saat mereka dalam kesempitan adalah untuk
mendapatkan keridhaan Allah. Itulah balasan terbesar di akhirat atas
penyakitnya. Ia mencapai berkah yang tak terhingga atas kehidupan surga sebagai
balasan kesengsaraan sementaranya di dunia ini.
Nabi Ibrahim yang ikhlas ketika dihadapkan dengan
penyakit adalah contoh yang baik untuk semua orang- beriman,
“Dan apabila aku sakit,
Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali).”(asy-Syu’araa`: 80-81)
Sikap dan akhlaq menakjubkan yang ditunjukkan oleh
Nabi Ayyub a.s. adalah contoh yang lain. Seperti yang telah Al-Qur`an katakan
kepada kita, Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit yang parah, namun penyakitnya
itu malah memperkuat kesetiaan dan keyakinannya kepada Allah. Inilah sifat yang
menjadikannya salah seorang nabi yang dipuji di dalam Al-Quran.
Dari Al-Qur`an, kita juga tahu bahwa sebagai
tambahan penyakit yang dideritanya, Nabi Ayyub a.s. juga mengalami tipu daya
setan. Berpikir untuk menguasai Nabi Ayyub di saat ia lemah, setan mencoba
menghasutnya untuk tidak lagi percaya kepada Allah. Hal ini karena dalam
kondisi sakit parah, biasanya sulit bagi seseorang untuk memusatkan
perhatiannya. Dengan mudah, ia dapat terbujuk oleh setan. Akan tetapi, sebagai
seorang nabi yang mengabdi sepenuh hati kepada Allah, Nabi Ayyub a.s. berhasil
lolos dari perangkap setan. Ia shalat dan ikhlas berdo’a kepada Allah, memohon
pertolongan-Nya. Di dalam Al-Qur`an, do’a yang dicontohkan oleh Nabi Ayyub
adalah,
“Dan (ingatlah kisah)
Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya....”(al-Anbiyaa`: 83-84)
Allah menanggapi do’a tulus Nabi Ayyub dengan
firman-Nya,
“Dan inagtlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia
menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan
siksaan.’ (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu; inilah air sejuk untuk mandi
dan untuk minum.’ Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)
keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai
rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. ‘Dan
ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan
janganlah kamu melanggar sumpah.’ Sesungguhnya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang
yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat taat (kepada
Tuhannya).”
Nabi Ayyub benar-benar mendapatkan balasan atas
keyakinannya kepada Allah, pengabdiannya kepada-Nya dan tingkatan kemuliaannya.
Ia juga menjadi contoh yang baik untuk bagi semua muslim.
Kesalahan Orang-orang Beriman Juga Menjadi Kebaikan Bagi Mereka
Satu masalah paling menakutkan yang didasarkan pada
kebodohan bagi seseorang di dalam masyarakat adalah berbuat kesalahan. Ketika
seseorang berbuat kesalahan, ia biasanya merasa malu dan menjadi objek
olok-olok. Atau, suatu kesalahan membuatnya kehilangan kesempatan-kesempatan
tertentu yang dianggapnya penting.
Dari sudut pandang Al-Qur`an, situasi seperti itu
bagaimanapun juga harus disikapi sebaliknya. Seorang mukmin tidak mendasarkan
penilaiannya terhadap orang lain dari kesalahan yang dibuatnya, untuk menyadari
kenyataan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Ia malah merasa sayang
terhadap orang itu.
Saat seorang mukmin berbuat kesalahan, ia
benar-benar memikirkannya dengan saksama dan mempelajari kesalahannya; rasa
takutnya kepada Allah segera memperingatkannya, sehingga ia berusaha untuk
memperbaiki kesalahannya. Ia berdo’a kepada Allah Yang Maha Pengasih dan
memohon ampun.
Kenyataannya, rasa sesal seorang mukmin setelah ia
berbuat kesalahan pada akhirnya hanya akan menjadi kebaikan. Hal ini disebabkan
ia bukanlah orang yang suka mengasihani diri sendiri seperti orang-orang kafir,
melainkan mencari solusi untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kepatuhan
yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, imannya kepada Allah, serta sikapnya yang
menyadari bahwa semua peristiwa adalah bagian dari takdirnya, semua itu
merupakan faktor penting dalam pikiran seorang mukmin. Sikap tersebut membawa
dirinya dekat kepada Allah.
Setiap Diri Akan Merasakan Mati
Menurut orang-orang yang bodoh, hal terburuk yang
dapat terjadi pada seseorang adalah mati. Itulah yang paling menakutkan bagi
mereka, yaitu mendekati kematian atau kehilangan seseorang yang mereka cintai.
Bahkan, kematian adalah peristiwa yang sedapat mungkin dihindari, meskipun orang
yang bodoh dapat mengetahui kebaikan dalam peristiwa tersebut. Baginya,
kematian tak pernah menjadi hal yang baik.
Cara pandang masyarakat yang tidak beriman terhadap
kematian adalah sama. Mereka tidak pernah dapat melihatnya dengan cara pandang
yang berbeda. Kematian adalah benar-benar kebinasaan, sedangkan akhirat
hanyalah semata-mata spekulasi.
Bagi orang-orang yang jauh dari kebenaran agama,
kehidupan dunia ini adalah satu-satunya kehidupan. Dengan kematian,
satu-satunya kesempatan telah berakhir. Inilah sebabnya, mereka menangisi
hilangnya orang yang dicintainya. Parahnya, kematian orang yang dicintainya
secara tiba-tiba di usia yang sangat muda, menjadi penyebab kemarahan mereka
kepada Allah dan takdir.
Bagaimanapun juga, orang-orang tersebut melupakan
kenyataan-kenyataan penting. Pertama, tak ada seorang pun di bumi ini yang
mendapatkan semua yang diinginkan. Setiap kehidupan seseorang adalah milik
Allah; setiap orang lahir di waktu yang telah ditakdirkan Allah sebelumnya dan
sesuai kehendak Allah. Inilah sebabnya, Allah—yang kepada-Nya kembali segala
sesuatu di langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya—dapat mengambil
kembali jiwa siapa pun yang diinginkannya, kapan pun Dia menginginkannya. Tak
ada seorang pun yang dapat menunda ketentuan Allah. Hal ini dinyatakan di dalam
Al-Qur`an,
“Sesuatu yang bernyawa
tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.”(Ali Imran: 145)
Tak peduli cara berhitung apa pun yang dipakai
seseorang atau seaman apa pun tempat tinggalnya, ia tidak dapat menghindari
kematian. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi saw., “Jika Allah memutuskan bahwa seseorang akan mati di sebuah tempat,
Allah membuatnya pergi ke tempat itu.”(Tirmidzi) Seseorang
dapat pergi dari dunia ini kapan pun. Demikian pula orang yang menghindari
kematian, tak peduli betapa kerasnya ia berjuang untuk tidak kehilangan orang
yang dicintainya. Bahkan, jika segala daya upaya telah dilakukan, ia tidak
dapat menghindari kematian. Orang tersebut akan menghadapi kematian di mana pun
ia berada, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Di mana saja kamu
berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi
lagi kokoh, dan jika mereka memeroleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini adalah
dari sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan,
‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah, ‘Semuanya (datang)
dari sisi Allah.’ Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir
tidak memahami pembicaraan sedikit pun?”(an-Nisaa`: 78)
Karena itu, solusinya bukan berusaha untuk
menghindari kematian, tetapi bagaimana menyiapkan kehidupan untuk hari akhirat.
Kematian Adalah Awal, Bukan Akhir
Manusia yang miskin iman atau mereka yang tidak
punya keimanan sedikit pun tentang akhirat, memiliki pandangan yang salah
tentang kematian dan kehidupan setelah itu. Inilah sebabnya, sebagaimana
disebutkan di awal, mereka percaya bahwa saat mereka kehilangan seseorang
(karena kematian), mereka akan kehilangan untuk selamanya. Karena itu, menurut
mereka, orang itu menyatu dengan tanah untuk sebuah kesia-siaan.
Sebaliknya, sebagian di antara mereka yang yakin
akan kebenaran akhirat boleh saja menangisi kematian seseorang. Akan tetapi,
Allah Mahaadil. Orang yang mati akan diberikan tabungan amalannya di dunia dan
berdasarkan keputusan-Nya orang tersebut dibalas dengan kebaikan. Karena alasan
itulah, bagi orang-orang yang memiliki keyakinan kepada Allah dan hari
akhir-dan karena itu hidup mengabdi kepada Tuhannya-kematian adalah gerbang
menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi, dari sudut pandang orang yang bodoh,
yang menafikan akhirat dan meremehkan hari pembalasan, kematian adalah gerbang
kesengsaraan abadi. Karena itu, sulit bagi mereka untuk menilai kematian
sebagai suatu kebaikan. Bagi seorang muslim, kematian adalah awal dari sebuah
kebebasan penuh.
Karena kematian dianggap sebagai hal terburuk yang
dapat terjadi pada siapa pun, namun sebenarnya merupakan kebaikan bagi
orang-orang beriman, maka reaksi mereka terhadap kematian dibedakan dengan
jelas dari akhlaq atau sikap bodohnya akan hal itu. Sikap seorang mukmin
terhadap kematian digambarkan dengan jelas dalam ayat,
“Dan sungguh jika kamu
gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya
lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.”(Ali
Imran: 157)
Seperti halnya kehidupan, kematian seorang mukmin
juga membawa kebaikan. Dalam pandangan Allah, tingkatan istimewa menanti
seorang mukmin yang syahid saat berjuang karena-Nya, karena kesyahidan adalah
sebuah kemuliaan dan berkah yang memperbanyak balasan yang akan didapatnya di
akhirat. Kematian seorang mukmin yang menjadikan satu-satunya tujuan hidupnya
adalah menggapai ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya, adalah sebuah peristiwa
yang agung. Dengan memahami kabar gembira yang dicantumkan di dalam Al-Qur`an
ini, seorang mukmin tidak pernah menangisi kematian mukmin lainnya yang mati
karena Allah. Sebaliknya, ia melihat kebaikan dan berkah dalam kematian itu,
dan mereka bergembira. Sesungguhnya, balasan terbesar adalah mendapatkan
keridhaan Allah dan surga-Nya.
Seorang mukmin yang menghabiskan waktunya untuk
melayani Allah akan dibalas dengan kebaikan. Contohnya Nabi Nuh a.s. yang
diberi umur panjang oleh Allah. Karena manusia mulia ini berjuang di setiap
detik kehidupannya, ia mendapatkan keridhaan Allah, kasih, dan surga-Nya.
Usahanya dalam menambah balasan pahala di akhirat.
Sebaliknya, kaum yang kufur cenderung terjerumus ke
dalam khayalan semu. Mereka mengira umur panjang adalah anugerah. Ayat di bawah
ini menjelaskan kekeliruan tersebut.
“Dan janganlah
sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka
adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya, Kami memberi tangguh kepada mereka
supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”(Ali
Imran: 178)
Mereka yang menjadi bagian masyarakat bodoh yang
menjadikan kesenangan sementara di dunia ini satu-satunya tujuan hidupnya,
menganggap umur yang panjang sebagai kesempatan untuk menikmati kesenangan
dunia. Karena itu, mereka melupakan Allah dan hari pembalasan. Mereka tidak
dapat menangkap nilai waktu yang mereka habiskan sia-sia. Bagaimanapun juga,
seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, waktu yang diberikan kepada mereka
sebenarnya menghancurkan diri mereka sendiri.
Seseorang yang memikirkan hal ini akan memahami
sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk,
sesuai dengan pernyataan Allah, “Bisa jadi
seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin seseorang
mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuknya.”
Alasan-Alasan
yang Menghalangi
Seseorang untuk Melihat Kebaikan
Lupa bahwa Hidupnya Adalah Cobaan
Sebagian orang mengira bahwa hidup mereka adalah
suatu kebetulan semata. Sebenarnya, tidaklah masuk akal untuk berpikir
demikian. Segala sesuatu, termasuk menderita kanker, tertimpa kecelakaan lalu
lintas, mulai dari makanan yang dimakan seseorang sampai kepada pakaian yang
dipakai seseorang, semua itu adalah hal-hal yang sebelumnya telah ditetapkan
khusus atas seseorang. Seperti yang telah kami tekankan berulang-ulang di
sepanjang pembahasan buku ini, semua peristiwa tersebut–dalam setiap
detailnya-khusus diciptakan Allah untuk menguji manusia.
Dalam hal inilah terlihat perbedaan mendasar antara
orang yang kafir dan beriman. Orang-orang beriman memiliki pandangan yang
sangat berbeda terhadap apa yang terjadi pada mereka dan apa yang terjadi di
sekeliling mereka. Pandangan ini sepenuhnya seperti apa yang diperintahkan
Al-Qur`an, yaitu menganggap setiap kejadian sebagai bagian dari ujian. Karena
itu, dengan menyadari bahwa mereka sedang diuji, orang-orang mukmin berusaha
untuk mengarahkan dirinya menuju jalan yang diridhai-Nya.
Orang yang tetap tidak acuh terhadap kebenaran
Islam, ia membuat tujuan-tujuan sesat bagi dirinya sendiri (masuk perguruan
tinggi yang terkenal, menikah dan berbahagia, memasukkan anak mereka ke
sekolah, memperbaiki standar hidup, mencapai status dalam masyarakat, dan
lain-lain). Semua itu memiliki satu kesamaan, yakni hanya berhubungan dengan
dunia. Rencana dan aspirasi orang yang menjadikan tujuan-tujuan seperti itu
sebagai tujuan hidup utama, terbatas pada pandangan yang dangkal ini. Hal ini
karena pengetahuan kebanyakan orang hanya terbatas pada eksistensi dunia.
Sebenarnya, anggapan mereka tidaklah benar. Bahkan, jika seseorang meraih semua
tujuan yang telah ia rencanakan, hidupnya berakhir pada titik yang tak dapat
dielakkan: kematian. Maka dari itu, kehidupan yang hanya tertuju pada dunia
adalah kehidupan yang sia-sia, kecuali sebaliknya seperti yang diinginkan oleh
Allah.
Seseorang yang menjalani hidup seperti ini bahkan
tidak akan pernah mendapatkan segala yang diinginkannya. Ini adalah hukum abadi
Allah. Tak ada satu pun di bumi ini yang lepas dari kehancuran. Tak ada satu
pun di bumi ini yang lepas dari waktu. Contohnya buah yang perlahan menghitam
dan membusuk setelah dipetik dari tangkainya. Sebuah rumah yang dibangun dengan
sungguh-sungguh selama bertahun-tahun pada akhirnya tidak akan dapat ditempati.
Tubuh manusia dengan mudah terkena pengaruh waktu yang merusak. Setiap orang
terkena pengaruh waktu pada fisiknya. Rambut yang memutih, tidak berfungsinya organ
tubuh, berkerutnya kulit, dan banyak tanda penuaan lainnya. Semua itu adalah
tanda-tanda yang mengindikasikan adanya kematian.
Selain itu, kehidupan manusia yang jarang melampaui
6-7 dekade dapat diakhiri dengan tiba-tiba. Peristiwa yang tidak diharapkan,
seperti kecelakaan lalu lintas atau penyakit fatal, dapat kapan saja mengakhiri
kehidupan manusia. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, tak peduli
bagaimanapun seseorang akan berjuang menghindari kematian, pada akhirnya ia
akan menemui penghabisan yang tak dapat dielakkan: kematian. Tak peduli apakah
ia gadis yang cantik atau seorang yang terkenal, tak ada satu pun orang yang
dapat menghindarinya. Tidaklah kekayaan, harta kepemilikan, anak, teman, atau
apa pun, yang dapat melindungi seseorang dari kematian.
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya, kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu
akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang
mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.’” (al-Jumu’ah:
8)
Itu berarti hidup di dunia ini adalah sementara dan
dunia ini bukanlah tempat terakhir manusia. Karena itu, seorang manusia harus
mengorientasikan semua usaha dalam hidupnya untuk akhirat saja.
“Maka sesuatu apa pun
yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada
pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan
hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal.” (asy-Syuura: 36)
Jika kita mengetahui bahwa hidup di dunia ini adalah
sementara dan tubuh manusia akan dimakan oleh kematian, kita dibawa pada satu
hal yang mesti kita renungkan, yaitu tujuan penciptaan manusia di bumi. Dalam
ayat ini, diberitahukan bahwa Allah membuat tujuan itu mudah,
“Yang menjadikan mati
dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”(al-Mulk:
2)
Dalam banyak ayat di dalam Al-Qur`an, Allah
memperjelas bahwa manusia diciptakan untuk menjadi hamba-Nya. Ia juga
menekankan bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian dan telah dibuat untuk
membedakan kebaikan dari kejahatan.
“Sesungguhnya, Kami
telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”(al-Kahfi:
7)
Karena seluruh hidup manusia adalah bagian dari
ujian, tak ada satu pun kejadian yang menimpanya yang merupakan
ketidaksengajaan. Jika seseorang tidak dapat memahami bahwa ada maksud di balik
peristiwa-peristiwa itu dan malah mengira bahwa hal itu terjadi dengan
sendirinya—terpisah dari campur tangan Allah—maka ia telah melakukan kesalahan.
Hal ini karena semua peristiwa yang terjadi dalam tiap detik kehidupan
sebenarnya adalah ujian yang Allah rencanakan bagi dirinya. Manusia bertanggung
jawab atas reaksi dan sikapnya terhadap ujian tersebut. Cara ia mengarahkan
dirinya dan menunjukkan moralitasnya, menentukan balasan atau hukumannya di
kehidupan akhirat.
Bahwa tak satu pun pengalaman—kecil ataupun besar,
berarti atau tidak—terjadi secara kebetulan dan bahwa segala yang terjadi dalam
kehidupan kita telah ditentukan sebelumnya dalam takdir kita, semua itu adalah
kenyataan yang harus diingat oleh seseorang. Selama itu diingatnya, ia tidak
akan pernah lupa bahwa segala yang ia temui dalam kehidupan pada hakikatnya
adalah baik untuknya. Dengan demikian, apa yang ia hadapi hanyalah apa yang
Allah kehendaki baginya. Kesimpulannya, penting kiranya untuk mengingat bahwa
dunia ini adalah tempat ujian yang dengannya kita diharapkan dapat melihat
kebaikan dan maksud Ilahiah dalam kehidupan ini.
- Allah Tidak Membebani Seseorang Melebihi
Kemampuannya
Allah menguji setiap manusia dengan ujian yang
berbeda, beragam jenisnya, serta melalui pengenalan yang berbeda pula. Akan
tetapi, perlu disebutkan bahwa Allah Mahaadil dan Dia sabar dalam menghadapi
hamba-hamba-Nya (al-Halim). Dia tak pernah membebani seseorang melebihi apa
yang ia mampu. Ini adalah janji Allah,
“Kami tiada membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab
yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.”(al-Mu`minuun:
62)
“Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban
kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya, mereka itulah
penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”(al-A’raaf:
42)
Penyakit, kecelakaan, semua bentuk tekanan, dan
segala macam ujian yang dihadapi seseorang dalam kehidupan dunia, adalah dalam
rangkaian batasan kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Akan tetapi, jika
seseorang memilih untuk mengingkari dan tidak bersyukur kepada Allah dan lebih
memilih perbuatan setan daripada memelihara nilai-nilai mulia
Al-Qur`an–misalnya kesabaran-maka pada akhirnya ia akan menanggung balasannya.
Dalam beberapa kasus, seseorang bisa saja merasa
bahwa ia telah melakukan segala cara yang memungkinkannya untuk keluar dari
masalah, namun ia tidak melihat jalan keluar. Karena ia tidak ingat bahwa tetap
ada kebaikan dalam peristiwa tersebut, ia memberontak dan marah. Ini
semata-mata merupakan rasa yang tak berguna yang diembuskan oleh setan. Apa pun
yang dihadapinya dalam hidup ini, seorang mukmin yang ikhlas harus tetap ingat
bahwa ia dihadapkan pada situasi yang di dalamnya ia dapat menetapi kebajikan dan
kesabaran. Jika ia putus asa, itu hanyalah tipu daya setan. Allah memerintahkan
hamba-Nya untuk tidak berputus asa.
“Dan tidaklah mereka
mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang
dikehendaki-Nya? Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya,
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada
Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian
kamu tidak dapat ditolong (lagi).’” (az-Zumar:
52-54)
Seseorang yang menerima dan berusaha menetapi
perintah Allah tersebut mengetahui bahwa dari kebaikan akan timbul kebaikan
pula. Seseorang yang putus asa akan sendirian di dunia ini dan tidak mempunyai
jalan keluar. Allah mengatakan pada kita bahwa mereka yang putus asa terhadap
kasih Allah adalah orang-orang yang tidak beriman,
“Dan orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari
rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat siksa yang pedih.” (al-‘Ankabuut:
23)
“… dan janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf:
87)
Dalam menetapi perintah Allah, seorang mukmin tidak
boleh berputus asa, tetapi harus mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang apa yang terjadi di sekitarnya melalui perenungan. Ketika
seorang mukmin menemukan kesulitan, kesulitan itu membuatnya sadar bahwa ada
kebaikan di dalamnya dan ia memastikan bahwa selama cobaan itu, ia menjadi
bersemangat, sabar, pemurah, setia, tekun, pengasih, dan penuh pengorbanan.
Karena itu, sekarang ini adalah saat seorang mukmin melatih rasa percayanya
kepada Allah. Mengetahui bahwa saat di akhirat, ia dianugerahi surga sebagai
balasan atas kebaikan sikapnya di dunia, bertambahlah sumber kebahagiaannya. Seseorang
yang telah diuji di dunia akan mengatasi kesulitan dengan ketegaran. Ia
menerima berkah dan janji surga, dan begitu menghargai keduanya. Karena itulah,
ia menikmati kebahagiaan di dalam semua itu. Penting untuk diingat bahwa
seseorang yang mengalami kesulitan tidak dapat menghargai kemudahan, bahkan
jika mampu pun, ia tidak pernah memiliki perasaan yang mendalam sebagai orang
yang telah melewati banyak kesulitan hidup.
Karena itu, setiap kesulitan yang dialami seseorang
pada akhirnya akan menjadi sember kebahagiaaan di akhirat.
Karena itu, sikap sabar, bijaksana, logis, stabil,
memaafkan, menyayangi, semuanya menujukkan tingkatan kemuliaan seorang mukmin
dan menawarkan kebahagiaan kepada manusia yang hanya didapatkan dari keimanan.
Atas izin Allah, kebahagiaan ini akan dinikmati selamanya.
- Setiap Kemalangan yang Menimpa Manusia
Berasal dari Dirinya Sendiri
Orang yang tidak mengamalkan akhlaq yang
diperintahkan di dalam Al-Qur`an sering menunjukkan ciri sifat yang sama. Jika
segala sesuatu berjalan sesuai kehendak, mereka mengira semua itu terjadi
karena diri mereka sendiri. Mereka bangga atas apa yang terjadi sesuai kehendak
mereka. Namun, saat kesialan menimpa, mereka mencari-cari kambing hitam. Tetapi
Allah Mahaadil, orang itu sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas
setiap kemalangan yang menimpanya, seperti yang ditunjukkan oleh ayat berikut:
“Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah nikmat dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
segenap manusiaa. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`
79)
Al-Qur`an memberikan beragam contoh untuk
menjelaskan bagaimana orang-orang kafir membolak-balikkan pemahaman atas segala
sesuatu yang terjadi. Sebagai contoh, Allah berfirman kepada kita dalam surat
al A’raf bahwa Fir’aun dan sifat-sifat setannya menjadi makar atas Musa a.s.
dan kaumnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah sumber kejahatan.
“Kemudian apaabila
datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini adalah karena (usaha)
kami’. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka melemparkan sebab kesialan itu
kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.”(al-A’raaf: 131)
Sebagaimana contoh yang dituliskan dalam ayat di
atas, dalam kondisi apa pun, orang yang jauh dari moralitas Al-Qur`an
mencari-cari kambing hitam. Mereka mengabaikan kesalahan mereka sendiri dan
menuduh orang lain. Bagaimanapun juga, seperti apa yang Allah firmankan dalam
ayat di atas, merekalah yang sebenarna bertanggung jawab atas kejahatan
tersebut. Jika orang-orang ini menafsirkan kejahatan sebagai kebaikan dan
sebaliknya, maka merekalah yang harus disalahkan.
Takdir yang Disalahpahami
Selama hidupnya, orang terus-menerus merencanakan
masa depan mereka, bahkan keesokan harinya atau sejam berikutnya. Pada waktu
tertentu, rencana ini berjalan seperti apa yang direncanakan. Tetapi,
kadangkala mereka tak dapat mencapainya karena hal-hal yang tidak diharapkan.
Mereka yang jauh dari ajaran Islam mengangap hal tersebut sebagai kesulitan
yang tidak disengaja.
Sebenarnya, tak ada rencana yang pasti
terselesaikan, ataupun kesulitan yang tak dapat dicegah. Semua kejadian yang
dihadapi seseorang dalam hidupnya telah ditentukan sebelumnya oleh Allah dalam
takdirnya. Hal ini disebutkan dalam ayat berikut,
“Dia meengatur urusan
dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
kadarnya (laamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (as-Sajdah: 5)
“Sesungguhnya, Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar:
49)
Seorang mukmin salah mengira bahwa hari-hari yang
dilaluinya adalah apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Kenyataan sebenarnya
adalah bahwa ia hanya menyesuaikan diri dengan takdir Allah yang telah
ditetapkan atasnya. Bahkan jika seseorang mengira bahwa ia telah berperan dalam
sebuah situasi, ia menganggap ia dapat mengubah takdirnya. Sebenarnya ia
mengalami momen lain yang telah ditakdirkan untuknya. Tak ada satu waktupun
dalam kehidupan kita terjadi di luar takdir. Seseorang yang sedang koma, tak
lama kemudian meninggal karena Allah telah mentakdirkannya demikian. Sedangkan
orang dengan kondisi yang sama sembuh berbulan-bulan kemudian karena ia telah
ditakdirkan demikian pula.
Bagi orang yang tak benar-benar mengerti arti
takdir, semua peristiwa terjadi karena ketidaksengajaan. Ia salah mengasumsikan
bahwa segala yang ada di alam semesta ini mandiri keberadaannya. Itulah mengapa
ketika ia terkena bencana, ia menganggapnya sebagai suatu kesialan.
Meski demikian, manusia terbatas kearifan dan
pemahamannya, ia bahkan dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain, semua yang
menimpa seseorang telah direncanakan oleh Allah swt., Pemilik Kebijaksanaan Yang
Tak Terbatas, Dia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
“Tak ada suatu
bencanapun yang menimpa di muka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid: 22)
Pada dasarnya, apa yang harus dilakukan seseorang
adalah menyerahkan dirinya pada akdir yang telah ditetapkan oleh penciptanya,
dan tetap menyadari bahwa segalanya akan berakhir. Sesungguhnya, orang yang
benar keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan mengakui
kenyataan bahwa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan bagian dari takdir
mereka, dan bahwa Allah telah merencanakan keadaan tersebut dengan
maksud-maksud tertentu. Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yang
positif ini. Mereka bahkan menilainya sebagai suatu kebaikan. Akhlaq mulia dan
penyerahan diri total yang dijalankan oleh orang-orang beriman dijelaskan di
dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Katakanlah,
‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah
bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal.” (at-Taubah:
51)
Pada akhirnya, seseorang tidak akan pernah bisa
mencegah terjadinya suatu peristiwa, baik ia menilainya sebagai suatu kebaikan
ataupun keburukan. Jika ia melihat kebaikan dalam segala hal, maka ia akan
selalu mendapatkan manfaat. Jika sebaliknya, ia hanya akan membahayakan dirinya
sendiri. Menyesal atau memberontak tak akan mengubah apa pun dalam takdir
seseorang. Karena itulah, tanggung jawab seorang manusia sebagai abdi Allah
adalah untuk menyerahkan dirinya kepada keadilannya yang tak terbatas dan
takdir yang telah ditentukan-Nya demi untuk menghargai semua peristiwa sebagai
suatu kebaikan dan orang yang demikian menyaksikan takdirnya dengan hati yang
tenang dan damai.
Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari Kebaikan
Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan bahwa setan
sangatlah kufur dan suka melawan. Kita juga belajar dari Al-Qur`an bahwa setan
akan mendekati manusia dari setiap arah dan ia akan berusaha dengan segala cara
untuk membawa manusia kepada kebejatan moral. Metode yang paling sering
dilakukan setan dalam rencana jahatnya adalah menghalangi manusia dari melihat
kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpanya. Dengan cara demikian, ia juga
berusaha untuk menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran. Orang
yang tidak mampu memahami keindahan akhlaq Al-Qur`an akan jauh dari ajaran
Islam dan mereka yang menghabiskan hidup mereka untuk mengejar kesia-siaan dan melupakan
akhirat akan mudah jatuh ke dalam perangkap setan.
Setan menyerang kelemahan manusia dan membisikkan
tipu daya yang menyenangkan kepada manusia. Ia memanggilnya untuk melawan Allah
dan takdir-Nya. Sebagai contoh, seorang mungkin tidak akan merasa kesulitan
untuk melihat bahwa tetangganya terkena musibah karena itu adalah bagian dari
takdirnya. Namun, dia mungkin tidak bersikap demikian saat ia atau kelurganya
tertimpa musibah yang sama. Karena hasutan setan, ia lebih mudah melawan kepada
Allah. Seseorang harus melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat
kebaikan dalam semua peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya
kepada Allah. Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan
membawa kepada sikap yang salah.
Usaha setan untuuk menghalangi manusia untuk melihat
kebaikan dengan perbuatan mereka sendiri. Sebagai contoh, setan berusaha untuk
meletakkan rasa takut di dalam hati seseorang yang ingin memanfaatkan
kekayaannya karena Allah. Godaan setan ini disebutkan di dalam ayat berikut,
“Setan menjanjikan
(manakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah:
268)
Bagaimanapun juga, semua perasaan itu adalah
sia-sia. Rencana rahasia setan ini tidak dapat mempengaruhi orang-orang
beriman, karena tujuan mereka dalam menggunakan kekayaannya bukanlah untuk
mendapatkan keuntungan dunia ataupun kesenangannya sendiri. Tujuan utamanya
adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah, rahmat, dan jannah-Nya. Karena
itulah, setan tidak dapat menipu orang-orang beriman dengan bisikan yang
sia-sia. Dalam ayat berikut dinyatakan bahwa setan tidak dapat mempengaruhi
orang-orang beriman,
“Dan jika kamu ditimpa
sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa
bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”(al-A’raaf:
200-201)
Dari hal-hal tersebut di atas, kita harus memahami
bahwa setan memakai dua cara untuk menghalangi manusia dari perbuatan baik.
Pertama-tama, ia berusaha menghalangi kebaikan dan perbuatan yang bermanfaat,
dan menyodorkan kesengan dunia sebagai tujuan hidup satu-satunya. Kemudian, ia
bersungguh-sungguh menghalangi manusia dari melihat kebaikan dan maksud yang
terkandung di balik setiap peristiwa.
Bagaimanapun juga, begitu banyak keberkahan yang
diberikan cuma-cuma kepada seseorang hingga ia tidak akan bisa menghitungnya.
Sejak lahir, manusia dianugerahi keberkahan yang tak terhitung dari Tuhannya,
anugerah yang tidak ada henti sepanjang hidupnya. Itulah mengapa, orang beriman
yang menjadikan Tuhan mereka sebagai satu-satunya kawan dan pelindung mereka
akan memberikan rasa percaya mereka sepenuhnya kepada Allah. Ketika sesuatu
terjadi tidak sesuai keinginan, mereka sadar bahwa ada kebaikan di dalamnya.
Mereka bersabar bahkan sekalipun saat mereka tidak bisa langsung menemukan
maksud Ilahiah di balik kejadian tersebut. Seperti yang dikatakan Nabi saw.,
“Mintalah pertolongan Allah dari kesulitan akan malapetaka yang hebat.”
(Bukhari). Tak peduli apa pun yang terjadi pada mereka, orang-orang beriman
tidak pernah memberontak atau bahkan mengeluh. Mereka selalu mengingat bahwa
kejadian yang berlawanan dengan keinginan mereka itu akan menjadi keberkahan
bagi mereka. Dan dengan kehendak Allah, kesulitan tersebut pada akhirnya
terbukti menjadi tolak ukur utama dalam kehidupan mereka dan membawa kepada
keselamatan abadi.
Contoh-Contoh
Kehidupan Nabi dan Orang-Orang Beriman
Perjuangan melawan orang kafir menjadi dasar utama
perjuangan pada nabi dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Orang-orang
mulia ini berhadapan dengan berbagai peristiwa yang kelihatannya tidak
menguntungkan. Namun, saat menghadapi cobaan-cobaan tersebut, muncullah
sifat-sifat istimewa mereka. Tak peduli bagaimanapun keadaannya, mereka
merasakan kedamaian dan kenyamanan karena mengetahui bahwa tak ada satu pun
yang lepas dari Allah. Pemahaman ini menolong mereka untuk selalu bersikap
positif.
Rasul Allah dan orang beriman memastikan
kehidupannya pada kenyataan bahwa Allah akan menolong mereka melewati masa
sulit dan bahwa segalanya pada akhirnya akan menjadi karunia bagi mereka.
Mereka menjadikan kenyataan tersebut sebagai dasar semua pandangan mereka.
Fitnahan Orang-Orang Kafir
Sebagaimana telah kita pelajari dari Al-Qur`an,
orang-orang beriman menghadapi sekelompok orang kafir dan munafik yang
menggunakan berbagai cara untuk menyesatkan mereka dari jalan yang benar.
Al-Qur`an memberika contoh rinci tentang penghinaan dan umpatan yang digunakan
oleh orang-orang kafir,
“Kamu sungguh-sungguh
akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan
mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika
kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan
yang patut diutamakan.” (Ali
Imran: 186)
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa
kebohongan dan fitnah yang ditujukan kepada orang-orang beriman sebenarnya baik
bagi mereka. Dalam ayat lainnya, Allah menghubungkan kenyataan tersebut dengan
contoh lain di masa Nabi saw.,
“Seseungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (an-Nuur:
11)
Keadaan yang dihadapi
oleh orang-orang beriman di masa lalu ini merupakan taktik yang dimainkan oleh
para kaum kafir untuk menghalangi dan menjauhkan mereka dari ketaatan pada
prinsip-prinsip Islam. Namun, orang-orang beriman tetap teguh menyakini bahwa
maksud jahat ini pada akhirnya akan terungkap dan menguntungkan orang-orang
beriman. Itulah mengapa mereka merespon fitnah mereka dengan sikap biasa saja
dan bijaksana. Tak sekalipun mereka lupa bahwa kesabaran dan rasa percaya
mereka pada Allah akan membawa kepada keberhasilan. Mereka menyadari –seperti
yang dikatakan oleh Nabi s.a. w., “Barangsiapa yang tetap bersabar, Allah akan
membuatnya sabar. Tak ada karunia yang lebih baik daripada kesabaran.” (HR
Bukhari)
Sebagaimana contoh-contoh di masa lalu tersebut,
sangatlah penting bagi orang-rang beriman sekarang ini untuk menyerahkan diri
mereka akan kebenaran bahwa segalanya berjalan sesuai dengan maksud Ilahi.
Seorang mukmin yang hidup dengan prinsip-prinsip ini juga akan mendapat
ganjaran terbesar di dunia. Karena Allah berjanji untuk menolong hamba-Nya yang
percaya pada-Nya. Dan Dia memastikan bahwa mereka tidak akan menemukan jalan
keluar lainnya selain dengan-Nya.
“Jika Allah menolong
kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal.”(Ali Imran: 160)
Tekanan Fisik dari Orang-Orang Kafir
Sepanjang sejarah, masyarakat kafir selalu
menganggap bahwa komitmen kaum mukminin terhadap agama Allah, cara hidup mereka
dengan prinsip-prinsip Islam, serta penyebaran risalah Allah ini adalah ancaman
bagi mereka. Itulah mengapa, demi untuk menghancurkan akhlaq kaum mukminin
mereka melakukan cara-cara yang jahat seperti memfitnah dan menipu daya. Jika
cara-cara demikian gagal, mereka tidak sungkan-sungkan melakukan cara-cara yang
lebih keras, seperti mengancam, menyekap, dan menangkap atau menyeret kaum
mukminin keluar dari rumah mereka.
Perlakuan buruk yang diterima kaum beriman dalam
perjuangan mereka dengan orang-orang kafir adalah bukti betapa orang-orang
kafir itu tidak tahu malu. Namun orang-orang mukmin selalu menemukan kebaikan
dalam perlakuan kasar yang mereka terima. Mereka tahu bahwa Allah pasti telah
menggariskan hal tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu. Mereka sangat sadar
bahwa kebajikan yang benar adalah dengan bersabar dan yakin kepada Allah. Allah
menggambarkan hal ini dalam ayat berikut,
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya
kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah:
177)
Sebagian dari sifat positif yang istimewa ini
diilustrasikan dalam surat al Ahzab, dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi
di zaman nabi Muhammad saw.. Menurut kisah tersebut, selama pertempuran
orang-orang mukmin diuji dan didera penderitaan saat kaum kafir menyerang
mereka dari segala penjuru. Dalam keadaan demikian, kaum munafik dan mereka
yang memiliki penyakit di hatinya memberikan berbagai alasan yang menujukkan
siapa diri mereka sebenarnya.
Dalam kondisi demikian, kaum munafik yang telah
berbaur selama beberapa waktu dengan komunitas kaum mukminin ini mulai
dikenali. Orang-orang seperti itu, tak ada bedanya dengan sel-sel kanker yang
menggerogoti tubuh. Mereka cepat sekali mundur di saat-saat sulit, walaupun
pertolongan dan rezeki Allah selalu diberikan kepada orang-orang beriman.
Sementara kaum munafik menghina, orang-orang beriman
yakin akan kebaikan dalam kesulitan yang mereka hadapi. Seorang mukmin
menyadarkan diri mereka sendiri untuk menjalankan apa yang diperintahkan di
dalam Al-Qur`an, dan mencapai tingkat keimanan dan kesetiaan kepada Allah yang
lebih tinggi.
“Dan tatkala orang-orang
mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah
yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita’. Dan benarlah Allah dan
Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman
dan ketundukan.”(al-Ahzab: 22)
Sebagaimana yang dicontohkan di atas, ujian dapat
menjadi sebuah keberkahan yang besar bagi orang-orang beriman, sementara bagi
mereka yang tidak dapat menghargai kebaikan, ujian yang sama dapat menyesatkan
mereka kepada kekufuran. Padahal ujian tersebut diberikan untuk menghapuskan
usaha-usaha kaum kafir serta untuk membedakan kebaikan dari kejahatan. Dalam
surat al Ahzab dikisahkan tentang orang beriman yang tidak mampu mencapai
keberhasilan, karena itu ia marah dan dengki,
“Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memeroleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin
dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (al-Ahzab:
25)
Hijrahnya Kaum Muslimin
Meninggalkan harta dan hijrah ke tempat lain jika
memang diperlukan adalah merupakan bentuk penghambaan yang disebutkan di dalam
Al-Qur`an. Karena itu, kaum muslimin yang berhijrah karena Allah selalu melihat
kebaikan dalam “kepindahan terpaksa” mereka. Sesungguhnya, di dalam Al-Qur`an
disebutkan bahwa hijrah karena Allah dilakukan oleh mereka yang mengharapkan
kasih sayang Allah.
“Sesungguhnya,
orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah:
218)
Orang yang bodoh mengira bahwa perginya seseorang
dari tanah kelahiran karena kerusuhan atau pembuangan ke negeri yang asing
adalah merupakan sebuah kemalangan, dan benar-benar melemparkan kehidupan
seseorang kepada kehancuran. Namun mesti disebutkan bahwa kaum mukminin
menyadari sejak awal bahwa mereka akan dibenci oleh kebanyakan orang yang
menafikan agama Allah. Maka dari itu, tekanan yang demikian sebenarnya
merupakan manifestasi kebenaran ayat-ayat Allah. Itulah mengapa orang-orang
beriman yang berhijrah atau terpaksa meninggalkan rumah mereka selalu
menghadapi kondisi demikian dengan penuh semangat dan pengharapan yang besar.
Akhlaq mulia orang-orang beriman yang hidup di zaman Nabi saw. dan keimanan
mereka yang tak tergoyahkan adalah merupakan contoh-contoh terbaik bagi kita.
Dengan menyadari bahwa kepatuhan kepada Nabi saw., mereka akan mendapatkan
keridhaan Allah. Mereka sudi memikul penderitaan dan semua kesusahan dengan
senang hati. Demi kebaikan kaum muslimin, mereka tidak sungkan meninggalkan
negeri mereka dan mengabaikan semua harta dunia mereka.
Sebagai balasan atas akhlaq istimewa mereka, Allah
juga memberikan kabar gembira dengan limpahan kebaikan dan rezeki di dunia. Hal
ini disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Barangsiapa berhijrah
di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang
luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di
sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..”(an-Nisaa`
100)
“(Yaitu) orang-orang
yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal. Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.”(an-Nahl: 41-42)
Contoh Keimanan Nabi Muhammad
Nabi Muhammad saw., seperti halnya nabi-nabi
sebelumnya, menghadapi berbagai kesukaran sepanjang hidupnya. Ia menjadi contoh
terbaik bagi semua muslim akan kesabaran dan keimanannya kepada Allah. Sebuah
peristiwa diceritakan dalam Al-Qur`an tentang akhlaq mulia dan keimanan Nabi
Muhammad saw..
Ketika Nabi saw. meninggalkan kota Mekkah, kaum
kafir membujuknya dan bermaksud membunuhnya. Nabi beristirahat dalam sebuah
gua. Dalam pencarian mereka, orang-orang kafir menghampiri gua tersebut. Dalam
kondisi yang sulit itupun, Nabi saw. menasehati sahabatnya untuk tidak khawatir
dan mengingatkannya untuk meyakini Allah,
“Jikalau kamu tidak
menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika
orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia
salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia
berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 40)
Satu-satunya alasan mengapa Nabi saw. tidak merasa
ketakutan atau tertekan saat hidupnya jelas-jelas dalam bahaya adalah karena
keyakinannya pada Allah, bahwa Dia menetapkan takdir seseorang untuk maksud tertentu.
Pada akhirnya, beliau sampai di Madinah dengan selamat, dan dengan demikian
dimulailah babak hijrah, sebuah titik tolak sejarah Islam.
Akhlaq Mulia Nabi Musa a.s.
Al-Qur`an menunjukkan kisah perjuangan Nabi musa
menghadapi Fir’aun yang dikenal sebagai penguasa yang paling zalim dalam
sejarah. Fir’aun merespon panggilan Allah yang disampaikan kepadanya lewat Nabi
Musa a.s. dengan ancaman siksaan. Tingginya akhlaq dan keyakinan Nabi Musa a.s.
kepada Allah- yang menggunakan berbagai cara untuk mengajaknya ke jalan yang
benar adalah sebuah contoh bagi semua orang beriman.
Al-Qur`an menjelaskan masa kenabian Nabi Musa
sebagai berikut: Fir’aun yang berkuasa di Mesir memberlakukan kekuasaan absolut
atas rakyat Bani Israil. Di sisi lain, Musa a.s. dan kaumnya adalah kaum
minoritas di negeri itu. Karena itulah, dari sudut pandang orang bodoh yang
menilai sesuatu hanya dari penampakannya, ia akan salah mengira bahwa kekuatan dan
kekuasaan akan menang. Ia mengira Fir’aun yang akan menang. Namun itu semua
adalah delusi karena Allah memerintahkan hal berikut:
“Allah telah menetapkan,
‘Aku dan rasul-Ku pasti menang’. Sesungguhnya, Allah Mahakuat lagi
Mahaperkasa’.(al-Mujadalah: 21)
Allah menepati janji-Nya pada para Nabi dan
memberikan kemenangan kepada Nabi Musa a.s. dalam melawan Fir’aun. Allah
membantunya sebagaimana saudaranya Harun, dengan sebaik-baik perlindungan-Nya.
Dan Allah memberikan mukjizat kepada Musa a.s. untuk menempa dan
mengistimewakan Musa dari yang lain dengan berbicara langsung kepadanya. Kita
dapat mengambil pelajaran dari perjuangan Nabi Musa sebagaimana dituliskan di
dalam Al-Qur`an. Hal ini jelas menunjukkan bagaimana sesuatu yang mungkin
muncul bagi orang-orang mukmin dengan seijin Allah dapat segera menjadi
keberkahan bagi mereka.
Ada sebuah peritiwa ketika Fira’aun dan pasukannya
berniat menangkap Musa a.s. dan kaumnya setelah melewati Mesir. Saat
orang-orang Bani Israil telah mencapai lautan, Fir’aun dan tentaranya hampir
saja menangkap mereka. Pada saat itu, kalimat Nabi Musa a.s. sangatlah ajaib.
Walau Fir’aun dan tentaranya nyaris menangkap mereka, dan tak ada lagi
kesempatan menyelamatkan diri, Musa tidak putus asa akan pertolongan Allah. Ia
mempertahankan kesabaran yang patut dicontoh. Kisah ini diceritakan di dalam
Al-Qur`an sebagai berikut:
“Maka Fir’aun dan bala
tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.Maka setelah kedua
golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, ‘Sesungguhnya,
kita benar-benar akan tersusul.’ Musa menjawab, ‘Sekali-kali tidak akan
tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk
kepadaku’. Lalu kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu’. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti
gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain itu.
Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang
besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.”(asy-Syu’araa`:
60-68)
Dalam kisah ini, kita diminta untuk memperhatikan
sifat-sifat utama Nabi Musa a.s.. Selama perjuangannya yang sulit, ia
terus-menerus mengingat pertolongan Allah, melihat kebaikan dalam segala hal
yang menimpanya, dan bahwa di saat ujian terberatnya, berusaha untuk
mempercayai Allah dan menjaga kesetiaannya kepada-Nya.
Kepatuhan Nabi Yusuf a.s. Di dalam
Al-Qur`an
Salah satu contoh yang indah tentang perubahan
situasi yang merugikan menjadi berkah bagi orang-orang beriman, yaitu tentang
kehidupan Nabi Yusuf a.s..
Nabi Yusuf a.s. sejak kecil dan sepanjang hidupnya
dikenal karena sikapnya yang matang oleh penderitaan dan kesetiaannya yang luar
biasa kepada Allah. Sikapnya dalam menjalani ujian merupakan contoh yang luar
biasa bagi seorang mukmin. Nabi Yusuf a.s. yang menjadikan Allah sebagai
pelindungnya, mencari kebaikan dalam segala hal yang menimpanya. Ia menyadari
bahwa apa pun yang ia hadapi adalah berasal dari Allah. Karena itulah,
sepanjang hidupnya, ia menganggap setiap kesulitan adalah sebuah ujian. Dan ia
selalu yakin dan teguh pendiriannya.
Nabi Yusuf a.s. sejak awal diperlakukan tidak adil
oleh saudara-saudaranya yang iri padanya. Mereka melemparkannya ke sebuah
sumur, hingga ia tak dapat pulang dan bertemu ayahnya. Bagaimanapun juga Allah
menyelamatkannya dari sumur itu. Para musafir dengan karavan mereka lewat dan
menolong Yusuf. Mereka menjualnya kepada orang terkemuka di Mesir. Disebutkan
dalam Al-Qur`an bahwa istri majikannya yang sangat terkesan dengan ketampanan
Yusuf berusaha merayunya. Dengan demikian, Yusuf a.s. sekali lagi diperlakukan
tidak adil. Kali ini ia difitnah oleh perempuan itu. Walaupun penyelidikan yang
dilakukan membuktikan bahwa Yusuflah yang benar, ia tetap dipenjara.
“Kemudian timbul pikiran
pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus
memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (Yusuf: 35)
Yusuf a.s. difitnah hanya karena sifat mulianya.
Karena tuduhan itu, Yusuf a.s. tinggal di penjara untuk waktu yang lama. Ia
menunjukkan kesabaran menghadapi semua kesulitan hidup dan tetap yakin pada
Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur`an, dengan caranya memimpin dirinya,
serta ketundukannya kepada Allah, ia benar-benar menjadi teladan bagi semua
mukmin.
Tentu saja Yusuf a.s. menerima pahala terbesar, baik
di dunia dan di akhirat, sebagai balasan kesabaran dan rasa percayanya kepada
Allah. Ia menyadari kebaikan dalam segala yang menimpanya. Allah memberinya
kekuasaan atas negeri yang kaya dan menjadikannya seorang penguasa disana.
Kesadarannya akan kebaikan dalam segala yang terjadi padanya dan do’anya kepada
Allah disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Dan ia menaikkan kedua
ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya
sujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf, ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku
yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia
membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang
pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku.
Sesungguhnya, Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya, Dialah yang Maha mengetahui lagi Mahabijaksana. ‘Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan
telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan), Pencipta langit
dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam
keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.’” (Yusuf: 100-101)
Sesungguhnya, kisah ini adalah contoh yang baik
tentang pahala yang diterima seorang mukmin sebagai balasan atas ketulusan dan
rasa percayanya kepada Allah. Apapun yag terjadi pada seorang mukmin yang
ikhlas, ia harus berusaha menemukan dan memahami maksud peristiwa-peristiwa
tersebut. Ia harus memohon pertolongan kepada Allah dan berdo’a untuk itu.
Seorang muslim tidak boleh lupa bahwa setiap peristiwa besar atau kecil, yang
mungkin menimpa, tidaklah berarti menyusahkan dirinya. Sebaliknya, ini adalah
merupakan kebenaran takdir, hukum Allah yang kekal abadi. Allah pasti telah
menetapkan segalanya untuk kebaikan orang-orang beriman. Sebagai sebuah
keberkahan yang besar. Di dalam hati orang-orang beriman, Allah dapat
mengungkapkan maksud dan kebaikan dari sebuah kejadian. Tetapi jika tidak
sekalipun, seorang mukmin harus bersabar dan ia harus mengetahui bahwa semua
itu tak lain untuk kebaikan.
Janji
Allah dan Pertolongannya bagi Orang-Orang Beriman
Sebagaimana dinyatakan
dalam Al-Qur`an, “Kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (ar Ra’ad: 1), berarti
bahwa orang-orang kafir biasanya menjadi mayoritas manusia di muka bumi. Mereka
selalu lebih banyak jumlahnya dari orang-orang beriman. Itulah mengapa
orang-orang bodoh itu menyangka dirinya berada di jalan yang benar. Kekayaan
materi telah menipu mereka dengan kepastian yang palsu. Menyadari bahwa hanya
penampakan benda-benda itulah yang membuat mereka salah mengira bahwa diri
mereka hebat. Namun, tetap ada kenyataan yang sama sekali tidak mereka sadari.
Janji dan bantuan Allah kepada orang-orang beriman,
“(Yaitu)
orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai
orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu? Dan jka orang-orang
yang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata, ‘Bukanlah kami
turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang yang beriman?’. Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa`: 141)
Di sisi lain, kaum kafir dan munafik menyembunyikan
berbagai macam ketakutan. Mereka begitu prihatin karena tidak memiliki keimanan
kepada Allah. Mereka menyembah Tuhan selain Allah, dan meyakini bahwa sebuah
peristiwa terjadi secara kebetulan. Ini sebenarnya ketakutan yang Allah
tanamkan di dalam hati mereka yang memerangi orang-orang beriman.
“(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya, Aku bersama
kamu, maka teguhkankanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman’. Kelak
akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (al-Anfal: 12)
Bantuan dan pertolongan yang ditawarkan Allah kepada
orang-orang beriman terus ada sepanjang hidup mereka. Sepanjang sejarah dan
dalam berbagai cara, Allah telah memberikan pertolongannya kepada orang-orang
beriman. Dalam beberapa kesempatan, Allah memberikan mukjizat kepada para
Nabi-Nya, dalam kesempatan lain Ia membantu kaum muslimin dengan pasukan yang
tak terlihat, para malaikat, atau melalui kejadian alam. Kadangkala Ia
memberikan mukjizat kepada para Nabi-Nya, dalam kesempatan lain Ia menolong
kaum muslimin dengan pasukan yang tak nampak, malaikat, atau peristiwa alam.
Bahkan sering pula dengan kejadian-kejadian yang tidak terlihat. Beberapa
contoh disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Hai
orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada
mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah
Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (al-Ahzab: 9)
“(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu,
‘Sesungguhnya, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut.” (al-Anfaal: 9)
“Sesungguhnya,
telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yagn lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.” (Ali Imran: 13)
Semua Makar Yang Direncanakan atas Kaum Muslimin Dihancurkan Sejak Awal
Kaum kafir melakukan segala macam tipuan dalam
perjuangan mereka melawan kaum muslimin. Salah satu cara yang paling sering
mereka gunakan adalah bersekutu melawan kaum muslimin. Orang-orang kafir yakin
bahwa mereka akan menang karena mereka adalah mayoritas, dan merekalah yang
membuat makar rahasia. Mereka tidak tahu bahwa Allah melihat apa yang mereka
rencanakan. Mereka benar-benar lupa bahwa Allah lebih dekat kepada seseorang
daripada urat lehernya sendiri. Walaupun mereka menyimpan rahasia itu, ataupun
mereka nyatakan terang-terangan, Allah mengetahui apa yang ada di hati mereka.
Allah tahu setiap hal kecil dari pikiran seseorang, dan Ia pun mengetahui setiap
rencana yang mereka buat.
Yang lebih penting lagi, Allah Yang Maha Mengetahui
mengatakan kepada kita bahwa Ia telah mengacaukan rencana kaum kafir sejak
semula. Tak peduli betapa rahasianya rencana tersebut. Semua makar atas kaum
muslimin digagalkan sejak awal mereka merencanakannya.
“Allah
melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.”(al-Anfal: 18)
“Dan
sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah
(balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar)
sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.”(Ibrahim: 46)
Sebagai tambahan, Allah mengatakan kepada kita bahwa
rencana yang demikian tidak akan merugikan kaum mukminin, dan bahwa pada
akhirnya mereka akan termakan rencana jahat mereka sendiri,
“Karena
kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat.
Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah
(Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali
kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak
(pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)
Orang-orang beriman yakin pada janji Allah (bahwa Ia
akan menggagalkan makar orang-orang kafir). Menyadari bahwa pertolongan Allah
selalu bersama mereka, mereka hidup dalam ketenangan. Sebagaimana telah
ditekankan sejauh ini, berkat kepasrahan, mereka dapat melihat kebaikan dan
maksud setiap kejadian yang mereka hadapi; dan bahkan jika mereka gagal
melihatnya, mereka percaya sepenuhnya bahwa setiap peristiwa pada akhirnya akan
menjadi kebaikan bagi orang-orang beriman.
Golongan Allahlah yang Menang!
Allah menjanjikan banyak pahala atas usaha kita
untuk selalu menemukan kebaikan dan selalu yakin kepada-Nya, bahkan dalam
peristiwa yang buruk sekalipun.
“(Yaitu)
orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan, ‘Sesungguhnya, manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan
karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka
mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran: 173-174)
Ingatkan diri kita bahwa orang-orang beriman selalu menang.
Bagaimanapun juga, semua penderitaan hanyalah sebuah ujian dari Allah bagi
orang-orang beriman. Sebagaimana telah disebutkan di awal, ujian adalah bagian
dari rencana Ilahiah untuk membedakan mukmin sejati dari mereka yang lemah
imannya. Orang-orang beriman yang meyakini Allah bersabar dan melihat kebaikan
dalam semua yang terjadi, mereka terus menerus menujukkan kesetiaan dan
keyakinan mereka kepada Allah. Merekalah yang akan mendapatkan keridhaan Allah,
baik di dunia ini ataupun di akhirat nanti.
“Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka seseungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.”(al-Maa`idah:
56)
Kesimpulan
Orang-orang beriman sepenuhnya hidup dalam kepatuhan kepada
Allah. Mereka menyadari bahwa dalam setiap detik kehidupannya segala hal
diciptakan oleh Allah dan telah ditentukan sebelumnya oleh Dia dengan rencana
tertentu. Walaupun orang-orang beriman dapat menghadapi segala macam kesulitan
dan cobaan sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menyesal dan berkata,
“seandainya ini tidak terjadi padaku”. Mereka percaya bahwa suatu tujuan
Ilahiah dan kebaikan akan ditemukan dalam setiap kejadian. Karena itulah,
bahkan dalam keadaan yang sangat menekan, mereka hidup dalam kedamaian pikiran.
Bagaimanapun juga, kaum kafir yang tidak menyadari kebenaran ini, merasa sangat
khawatir saat berhadapan dengan sebuah peristiwa yang menurut mereka buruk.
Keputusasaan menghantui hidup mereka. Sesuai fitrah, kenyataannya manusia tidak
henti-hentinya mencari kedamaian dan kenyamanan hidup dari penderitaan fisik
dan spiritual yang disebabkan oleh kesulitan, stress, dan kesedihan. Namun
kepedihan, tekanan, dan keputusasaan yang ditimpakan kepada seseorang yang
tidak yakin kepada Allah atau tidak mencoba melihat kebaikan dalam apa yang
menimpanya, akan sangat mengganggu hidupnya. Ia tidak akan dapat membebaskan
dirinya dari ketakutan akan masa depan, kematian, dan kemiskinan.
Keselamatan manusia hanyalah didapat dengan mengingat bahwa
Allah menciptakan setiap kejadian demi tujuan-tujuan Ilahiah dan kebaikan
tertentu. Seorang mukmin meyakini keimanannya kepada Allah dengan
sebenar-benarnya iman, karena ia memahami hal tersebut. Ia bersikap sebagai
hamba sejati bukan hanya karena ia bertahan dalam keadaan ini, tetapi ia
menjalaninya dengan penuh kesabaran. Selalu berusaha dekat dengan Allah,
berdo’a, dan meyakini-Nya, serta berharap bahwa segalanya datang dari Allah,
adalah merupakan sifat-sifat istimewa orang-orang beriman.
Di dunia ini, tempat dimana kita menunggu dibukanya gerbang
surga, seorang mukmin menghadapi berbagai macam keadaan sebagai bagian dari
cobaan hidupnya. Selama cobaan ini, ia memimpin dirinya dengan tanggung jawab
kepada Allah dan berusaha keras untuk mendapatkan keridhaan Allah dan
surga-Nya. Ia menjauhi nereka, takut kepada Allah, dan melihat kebaikan dalam
segala yang terjadi pada diri dan sekitarnya. Walaupun misalnya ia tidak dapat
melihat kebaikan itu, ia selalu ingat bahwa Allah-lah yang mengetahui
segalanya, bagaimanapun keadaannya. Seorang mukmin adalah suatu zat yang telah
diturunkan ke dunia dari surga melalui ketiadaan waktu. Itulah dalam pandangan
Allah. Di sinilah ia tinggal untuk jangka waktu yang singkat, sampai ia
diijinkan Allah untuk masuk ke dalam peristirahatan terakhirnya. Allah
mengatakan kepada kita tentang sebuah peritiwa yang pasti akan terjadi pada
hamba-Nya yang takut pada-Nya dan selalu melaksanakan tugas-tugas dari-Nya.
“Dan orang-orang yang bertaqwa
kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombongan-rombongan (pula). Sehingga
apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan
berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan)
atasmu, Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di
dalamnya.’ Dan mereka mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
memenuhijanji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang
kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami
kehendaki.’ Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang
beramal. Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di
sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara
hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam.’”(az Zumar: 73-75)